DEMOKRASI.CO.ID - Gelombang penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja masih berlangsung sampai siang hari ini, Rabu (7/10/2020).
Penolakan tak hanya digemakan di media sosial, tetapi juga lewat turun ke jalanan di sejumlah daerah. Massa kontra UU Cipta Kerja tak hanya elemen buruh dan mahasiswa, pelajar STM pun ikut serta.
“Jika demo seperti ini berlanjut terus, dan DPR RI ngotot tidak mau cabut UU Cipta Kerja. Akankah berujung pada pemakzulan Pak Jokowi? Ini cuma bertanya saja,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnain.
Tengku dapat memahami kenapa buruh mogok kerja dan tetap turun ke jalanan bersama dengan kawan-kawan dari berbagai elemen untuk menyuarakan aspirasi, walaupun sekarang keadaan pandemi Covid-19.
“Kenapa buruh nekat demo seperti ini di tengah pandemi Covid-19? Karena nasib dan nyawa anak cucu ke depan lebih dirasa berharga dari nyawa sendiri,” kata Tengku.
“Buruh bisa berpikir begitu, masak para anggota DPR RI tidak sampai berpikir begitu? Mau demo pakai Zoom nanti ada tangan gratil. Tung…” kata Tengku.
Kalimat terakhir Tengku menyindir insiden mikrofon dimatikan pimpinan dewan ketika anggota Fraksi Partai Demokrat Irwan Fecho sedang menyampaikan interupsi dalam rapat paripurna pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja, Senin (5/10/2020), sore.
Sementara dalam pandangan pegiat media sosial Denny Siregar, demonstrasi buruh tersebut tidak memberikan keuntungan kepada mereka. (baca juga: 6 Pasal Kontroversial UU Ciptaker)
“Demo dan mogok para buruh itu sebenarnya tidak menguntungkan buruh. Kenapa ? Karena UU Cipta Kerja sudah disahkan. Mau rubah? Ya silakan ke MK. Yang diuntungkan dengan demo itu ketua serikat pekerja dan partai yang sedang caper. Buruh ? Ntar kerja lagi dan nasibpun tetap begini,” katanya.
Denny Siregar kemudian memberikan contoh pengalaman temannya yang dulu sering ikut demonstrasi dan katanya tidak mendapatkan manfaat dari kegiatan tersebut.
“Ada teman bilang gini. Tahun 2017 gua ikut demo buruh sama bbrp teman seperjuangan. Tahun 2018, gua keluar kerjaan karena capek demo, tapi nasib gada perubahan. Akhirnya jadi pengusaha kecil-kecilan. Tahun 2019, gua udah bisa menghidupi diri, pendapatan lumayan,” kata Denny Siregar.
Masih cerita teman Denny Siregar, tahun 2020, dia sudah punya dua karyawan. Tapi teman2-temannya masih sama seperti dulu. “Tetap berdemo nggak ada perubahan. Ternyata nasib tidak akan pernah berubah, kalau mulainya tidak dari diri kita. Selamat tinggal teman-teman, maaf, gua udah di luar angkasa.” (baca juga: Ini Kerugian Menurut Serikat Pekerja)
Sosiolog hukum dari Universitas Pancasakti Eddhie Praptono mengatakan pengesahan UU Cipta Kerja terkesan kejar tayang. “DPR tidak mau menerima masukan dari sejumlah pihak, langsung menggodok dan mengesahkan. Itu kan sangat meresahkan,” kata Eddhie.
Apalagi, kata Eddhie, pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja banyak yang bermasalah dan merugikan kalangan buruh. Sehingga keberadaan UU itu justru akan menimbulkan gejolak di masyarakat.
“Seharusnya DPR dan pemerintah tidak boleh kaya gitu. Kalau melihat kondisi bangsa kita sedang terpuruk karena Covid-19 kok UU itu dipaksakan. Malah timbul gejolak, jadi masalah. Apalagi menjelang pemilu, ini yang saya sesalkan. Ini muara korbannya rakyat,” ujar dia.
Eddhie mendukung kalangan buruh memperjuangkan hak-hak mereka dengan mengajukan uji materi UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.
“Kalau undang-undangnya sudah terlanjur disahkan dan dituangkan dalam lembar negara, para buruh masih memiliki kesempatan melawan dengan uji materi,” kata Eddhie.
Menurut Edhhie, selain buruh, pihak-pihak lain juga dapat mengajukan uji materi ke MK jika menilai ada pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang bermasalah.
“Siapapun, individu, ormas, kelompok masyarakat, itu bisa menggugat ke MK. Pasal-pasal yang tidak sesuai, tidak pas, yang betul tidak adil dan bertabrakan dengan UUD 45 itu yang akan diuji di MK nanti,” kata dia.
Edhhie berharap majelis hakim yang nantinya ditunjuk untuk menangani uji materi tersebut bisa bekerja profesional dan mengambil keputusan secara obyektif.