“REVOLUSI Itu Akan Mencari Jalannya Sendiri", begitu sebuah postingan di tweeter @el_macho90 yang link ke tweeter Dr. Dipo Alam, mantan ketua Dewan Mahasiswa UI, yang pernah di penjara Orde Baru, yang saya lihat kemarin.
Apa itu revolusi sosial? Apakah benar demikian?
Revolusi adalah perubahan sosial yang menggantikan struktur sosial, struktur politik dan ekonomi serta kadangkala struktur budaya masyarakat atau peradaban. Perubahan ini umumnya diwarnai dengan kepemimpinan perubahan yang kuat dan perlawanan yang terorganisasi serta acapkali dengan kekerasan.
Pembicaraan tentang revolusi ini perlu kita kaji mengingat 5 hal atau situasi sebagai berikut:
1) Gerakan mahasiswa dan buruh sebagai garda terdepan telah memenuhi jalan jalan sepanjang beberapa hari ini.
2) Gerakan Islam dan khususnya yang di bawah komando Habib Rizieq (HRS) telah mengepung terus ibukota, dengan tema Pancasila dan Kembalikan Habib Rizieq.
3) Pernyataan Guru Besar UGM, yang terkenal dengan isu pemerintahan bersih, Professor Zainal Mochtar telah menyerukan adanya pembangkangan sipil atas situasi sosial paska pengesahan UU Omnibus Law kemarin.
4) Adanya spirit kebangkitan purnawirawan militer untuk mewarnai perubahan sosial melalui jalur gerakan masyarakat sipil.
5) Adanya respon negatif ormas Islam terbesar NU dan Muhammadiyah terhadap pemerintah dalam kasus Pilkada. Serta kaum ulama pada isu RUU HIP.
Tentu banyak fenomena sosial lainnya belakangan ini yang dapat dilihat sebagai fenomena penting dalam menganalisa situasi yang ada. Antara lain kegagalan pemerintah dalam penanggulangan pandemi Covid-19, administrasi negara yang melemah karena transformasi digital yang gagal dan ekenomi semakin memburuk.
Lalu mengapa perlu menganalisa revolusi itu?
Pentingnya melakukan analisa atas hal ini karena jika revolusi datang pada sebuah bangsa, namun gagal di "bimbing", yang terjadi biasanya adalah kehancuran bangsa, seperti kasus kasus kegagalan revolusi di Afganistan, Filipina terkait penggulingan Ferdinan Marcos dan beberapa di Amerika latin.
Sebaliknya, Revolusi Bolshevik di Rusia, Revolusi di Iran, Revolusi di China, umpamanya, karena terarah dan terbimbing, bangsa tersebut terselamatkan.
Sebab-Sebab Revolusi
Ilmu sosial telah melahirkan berbagai teori tentang revolusi, baik mencari sebab sebab munculnya revolusi maupun sejarah revolusi. Sebab sebab revolusi dikaji oleh ahli ahli sosiologi, seperti Skocpol, dalam bukunya "State and Social Revolution", 1979, yang membandingkan revolusi Prancis, China dan Rusia.
Sebagai seorang strukturalis fungsional, Skocpol melihat pergeseran equilibrium sebuah masyarakat yang terguncang (disequlibrium) akibat ada kemerosotan eksistensi negara dan pemberontakan petani di 3 negara yang dia bandingkan. Namun, kaum strukturalis, baik Marxis maupun fungsional, kurang memberi perhatian pada analisa agensi atau tokoh maupun ideologi gerakan. Sosiolog dan historian lainya, banyak yang juga melihat peranan ideologi, organsisasi aksi dan peranan tokoh dalam sebuah revolusi dan sebab sebabnya.
Sebab sebab revolusi dalam teori kenabian umumnya dikaitkan dengan adanya bala atau bencana yang ditimpakan kekuatan ilahiah pada sebuah rezim dan masyarakatnya serta munculnya seorang pemimpin yang membawa perubahan peradaban.
Melihat berbagai spektrum pemikiran dan analisa, secara umum sebuah revolusi itu terjadi karena adanya 1) Meluasnya kekecewaan rakyat atas rezim yang berkuasa, 2) Terjadinya kooptasi negara dengan melakukan politik tirani dan berbagi kekuasaan dengan kaum oligarki modal, 3) Terjadi kemerosotan peran dan eksistensi negara akibat perang atau wabah ataupun keuangan negara, 4) munculnya tokoh2 revolusioner, 5) adanya ideologi yang mempersatukan gerakan perlawanan.
Meluasnya kekecewaan rakyat Indonesia saat ini sudah meluas dan mendalam. Meluas itu terbukti dari kecaman dua ormas besar agama Islam atas sikap pemerintah yang mengorbankan nasib rakyat ditengah pandemi Covid-19 demi mendorong pilkada. Di luar NU dan Muhammadiyah sesungguhnya hampir seluruh kekuatan masyarakat sudah menyatakan menolak pilkada. Apalagi sinyalamen Pilkada 92% dibiayai cukong2 diumumkam sendiri oleh tokoh sentral pemerintahan, yakni Menkopolhukam.
Kekecewaan dalam spektrum lainnya adalah kekecewaan buruh yang menolak UU Omnibus Law. Buruh sebagai kekuatan rakyat di perkotaan dan semi urban melihat bahwa pemaksaan secara cepat legalisasi UU ini adalah simbol kesombong rezim dan kaum kapitalis untuk mengekploitasi nasib mereka. Vis a vis secara kepentingan. Yang menariknya adalah di luar buruh, kelompok2 identitas, intelektual dan lingkungan ikut mengecam UU Omnibus ini, seperti mahasiswa, kalangan dosen, ulama, masyarakat sipil lainnya, pecinta lingkungan, masyarakat adat dan terakhir lembaga2 pro lingkungan hidup internasional.
Selain itu, kekecewaan masyarakat terjadi karena kegagalan pemerintah menangani pandemi. Meskipun pemerintah beralibi telah menangani dengan baik, dengan membandingkan hasil faktual antar negara, namun rakyat sudah sedemikian jauh mengalami frustasi sosial dan kemerosotan hidup selama 8 bulan pandemi ini.
Krisis kepercayaan meluas dan dalam kepada pemerintah akibat adanya ketertutupan pemerintah soal pandemi ini di masa awal, serta kegagalan dalam mengontrol penyebaran pandemi pada masa nasa yang disebut "golden time". Disamping publik melihat arogansi pemerintah dalam masa masa awal menyepelekan isu Covid-19 ini.
Banyak lagi berbagai kekecewaan masyarakat yang muncul. Khususnya, kekecewaan ummat Islam dan eks militer atas isu di seputar bangkitnya Komunisme. Dan klaim bahwa mayoritas masyarakat kecewa dengan Jokowi sudah pasti mempunyai landasan analitis.
Dalam hal kooptasi negara atas semua kekuatan yang ada ditunjukkan dengan upaya cepat pemerintah memberlakukan perpu corona, kemudian menjadi UU Corona No. 1/2020, yang intinya pemusatan kekuasaan secara hampir mutlak pada pemerintah. Pada saat Jokowi mengkritik menteri menterinya yang dianggap gagal bekerja ekstra ordinary, setelah 3 bulan pandemi, Jokowi mengobral akan membuat Perpu Corona lainnya jika dianggap kurang dalam konsolidasi power. Ini menunjukkan sistem politik kita yang membagi kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, serta pemeriksaan keuangan independen, terdistorsi.
Bahkan terakhir adalah upaya rezim Jokowi membuat Dewan Moneter untuk mengendalikan Bank Sentral, yang selama ini independen, dibawah kontrol pemerintah.
Pemusatan kekuasaan ditangan Jokowi dan rezimnya bersamaan dengan rencana RUU HIP dan UU Omnibus Law. RUU HIP adalah upaya pemusatan tafsir ideologis atas Pancasila. Dengan genggaman itu maka pemerintah mempunyai alat pembungkaman lawan-lawan politik secara legal. Sedangkan Omnibus Law, yang luas ditentang saat ini, adalah upaya pemerintah membagi kesenangan kepada kaum kapitalis dan oligari modal.
Dalam tafsir pemikiran Marxian, model negara seperti ini adalah negara proxy kapitalis, bukan sebuah negara ala Weberian atau ala Leviathan Hobbes yang melihat adanya eksistensi negara.
Tafsir Marxian memperlihatkan bahwa cita cita Jokowi dengan Revolusi Mental yang ke kiri2an hanyalah seperti "violin Obama", sebuah term yang pernah dituduhkam pada Obama, berpura2 kiri tapi faktanya kapitalis habis.
Namun, perjalan situasi saat ini tidak menguntungkan rezim Jokowi. Krisis pandemi Covid-19 telah menghancurkan negara baik ekonomi maupun sektor kesehatan. Ekonomi mengalami krisis dan depresi tanpa jalan keluar. Harapan bantuan "teman baik" RRC tidak terjadi karena RRC juga mengalami kemerosotan ekonomi, yang membuat ratusan juta pengangguran di sana.
Mengandalkan lembaga lembaga multilateral untuk menolong atau hutang juga sulit, karena, misalnya IMF, harus membantu 150 an negara anggotanya. Beberapa bulan lalu IMF hanya berhasil memberikan pinjaman rerata $ 0,3 Milyar per negara (Bandingkan Indonesia pada krisis moneter tahun 98, mendapat bantuan $75 Milyar).
Kemerosotan negara akan terus memperburuk adminsistrasi dan pelayanan serta kemampuan aparatur militer menjaga negara. Memperkuat peranan polisi pada social order, belum tentu efektif, jika keresahan dan perlawanan rakyat menguat.
Selanjutnya adalah munculnya tokoh2 revolusioner ke depan. Dalam gejolak sosial seperti saat ini, kelompok2 sosial terus memproduksi "tokoh2 baru" atau maksudnya tokoh2 yang menjadi revolusioner. Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin misalnya, dua tokoh baru dari masyarakat sipil dan eks militer yang muncul membawa pesan pesan revolusioner serta solidaritas. Tentu saja tokoh2 seperti Agus Harimurti Yudhoyono, misalnya yang acap dianggap sepele sebelumnya, namun karena keberaniannya melawan rezim dalam kasus UU Omnibus Law, telah berubah menjadi sosok heroik. Dan tentu saja akan muncul banyak tokoh2 baru lainnya ke depan.
Tokoh2 Revolusioner baru ini akan bersinergi dengan tokoh revolusioner lama, Habib Rizieq Sihab. Situasi dan momentum akan membuat mereka membangun front bersama dalam membimbing perubahan.
Terakhir soal ideologi perjuangan. Ideologi dalam pengertian sederhana adalah alat untik sebuah tujuan. Pengertian dapat dikembangkan bahwa ideologi adalah seperangkat nilai2 yang mengikat dan mewarnai sebuah gerakan sosial untuk mencapai tujuannya. Nilai2 di sini adalah nilai2 yang berkontestasi dengan nilai2 "establishment" dari penguasa.
Saat ini ideologi perjuangan dan perlawanan telah melahirkan nilai2 yang mengikat collective ideas, yakni anti kapitalisme, anti Oligarki dan cukong2 dan mendorong nilai2 sosialistik menggantikan kapitalis liberal.
Habib Rizieq yang dulu sendirian menggelegarkan anti 9 naga, sebagai anti cukong alias anti kapitalis telah mendapatkan sekutu perlawanan dari berbagai tokoh2 dan elemen perjuangan. Dengan pernyataan yang sama dari Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin, misalnya, persekutuan ideologis terjadi dalam suasana perlawanan sosial mereka.
Sebab-sebab munculnya sebuah revolusi telah terlihat sebagai sebuah fenomena sosial kita. Ketegangan sosial dan keruntuhan sosial lama telah dan akan terjadi. Dalam situasi keruntuhan sebuah sistem sosial lama, sebab sebab tersebut tidak dapat dipersepsikan sebagai sebuah kejahatan bernegara. Sebab sebab tersebut adalah sebuah konsekwensi sosial dalam situasi dan momentum yang terjadi karena berbagai sebab sebab sebelumnya.
Misalnya, ketika kita memaknai seorang Professor ahli Hukum UGM, yang menyerukan pembangkangan sosial, tentunya bukan sebuah kejahatan. Sebab, seruan itu adalah reaksi atas aksi. Dan UGM selama ini dikenal sebagai kampus loyalis pendukung Jokowi.
Mengapa Revolusi Mental Gagal?
Revolusi yang digaungkan Jokowi sebagai upaya perubahan besar ketika berkuasa adalah Revolusi Mental. Revolusi ini adalah gagasan untuk menghancurkan kehidupan materialistik dan memperkaya diri dalam masyarakat. Selain itu, sebagaimana tulisan Jokowi di Kompas, April 2014, gagasan lainnya adalah menghancurkan budaya korupsi di Indonesia.
Dua tahun setelah berkuasa, Jokowi melembagakan gerakan revolusi itu melalui Inpres 12/2016. Inpres itu menyatakan ada 5 program Gerakan Nasional Revolusi Mental, yaitu Program Gerakan Indonesia Melayani, Program Gerakan Indonesia Bersih, Program Gerakan Indonesia Tertib, Program Gerakan Indonesia Mandiri, dan Program Gerakan Indonesia Bersatu.
Namun, sebagaimana kita ketahui, gagasan Indonesia bersih itu telah gagal total saat ini. Setelah Jokowi & sekutu partainya "melumpuhkan" KPK tahun lalu, maka pembicaraan dan keraguan tentang rezim Jokowi yang semakin korup menjadi semakin nyata. Berbagai gerakan sipil dibidang pemberantasan korupsi melihat pelumpuhan KPK tersebut sebagai situasi terburuk upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Berbagai korupsi besar seperti skandal asuransi Jiwasraya dan ketua KPK menggunakan fasilitas swasta untuk kepentingan pribadi serta banyak lainnya, menandai membesarnya prkatek korupsi di Indonesia. Skandal perlindungan kasus korupsi Djoko Tjandra oleh petinggi kepolisian dan kejaksaan, menunjukkan situasi tidak berdaya rezim Jokowi dalam penegakan hukum. Mahfud MD, sebagai pemerintah, mengakui ketidakmampuan dan ketidakberdayaan pemerintah, bahkan presiden soal penegakan hukum ini. Bulan lalu, berbagai media mengungkap tanggapan atas pernyataan Mahfud ini sebagai sebuah kekalahan negara, meskipun dia dengan alasan adanya pembagian kewenangan yang terpisah.
Lalu mengapa Revolusi Mental Jokowi gagal?
Kegagalan Revolusi Mental terjadi setidaknya karena 3 hal:
1) Jokowi terjerat pada persekutuan oligarki partai dan pemilik modal yang sebagiannya sudah terbiasa korupsi. Dalam kasus Jiwasraya, contohnya, ditenggarai bahwa seorang mantan direktur Jiwasraya yang terlibat skandal Jiwasraya tersebut adalah pejabat di kantor Staf Presiden (KSP). Elit sekutu partai Jokowi lainnya, seperti Romi P3, Setya Novanto dan Idrus Marham, Golkar, serta Imam Nachrowi, PKB juga koruptor.
2) Jokowi tidak mempunyai basis sosial yang kuat dalam gagasan revolusi mental. Hal ini ditandai dengan tidak adanya kekuatan masyarakat yang mengusung tema ini secara besar besaran dan serius.
3) Gagasan ini mungkin bersifat artifisial. Artinya Jokowi hanya ingin gagah gagahan unjuk gagasan dalam menuju kekuasaan. Hal ini ditunjukkan bahwa pada pilpres 2019, Jokowi tidak lagi mempersoalkan keberadaan gagasan ini.
Penutup
Kekecewaan rakyat meluas dan mendalam. Spektrum kekecewaan itu datang dari berbagai persoalan bangsa, seperti isu kebangkitan Komunisme, isu Omnibus Law, isu Pilkada, isu krisis ekonomi dan kesehatan, serta berbagai isu terkait pelanggaran HAM dan anti demokrasi. Kekecewaan ini telah meliputi ormas2 besar, misalnya dalam kasus penolakan pilkada, dan elemen elemen progresif revolusioner, yakni kaum buruh dan mahasiswa, dalam kasus Omnibus Law. Sebagai manifestasi kekecewaan, buruh dan mahasiswa sudah melakukan aksi perlawanan pada rezim Jokowi, meskipun mereka mengetahui adanya resiko pandemi yang mematikan. Dan diperkirakan kekecewaan ini tidak mudah berhenti dan sulit dikendalikan.
Krisis ekonomi dan sektor kesehatan, di sisi lainnya, telah menggerogoti negara. Skocpol, seorang sosiolog America, misalnya melihat faktor kegagalan negara menjadi salah satu sebab lainnya revolusi sosial, ketika pemberontakan rakyat terjadi.
Dua hal ini, perlawanan dan krisis negara, menjadi syarat adanya sebuah revolusi sosial, sebagai mana studi Theda Skocpol pada revolusi Prancis, Rusia dan China. Namun, berbagai ahli tentang revolusi lainnya mengaitkan adanya tokoh2 atau "social agent" dan ideologi bersama.
Dari sisi ini ideologi, norma anti "establishment", anti kapitalis, anti neo liberal dan anti Komunisme telah mewarnai ruh berbagai gerakan yang ada, dan dapat menjadi ideologi bersama. Sedangkan tokoh2 seperti Habib Rizieq, Din Syamsuddin dan Gatot Nurmantyo, diantaranya, telah menjadi tokoh2 nasional yang terlibat dalam perlawanan. Bisa jadi juga Agus Harimurti Yudhoyono dan Said Iqbal yang menolak UU Omnibus Law, Professor Zainal Mochtar Arifin yang menyerukan pembangkangan sosial bergeser menjadi tokoh2 revolusioner pula. Berbagai tokoh2 gerakan tentu saja akan muncul beberapa atau banyak lainnya dalam momentum revolusioner, di manapun dalam sejarah.
Itulah situasi sosial kita saat ini, sebuah situasi besar pergeseran "Dari Revolusi Mental Menuju Revolusi Sosial". Memang Revolusi akan selalu mencari jalannya sendiri.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle