DEMOKRASI.CO.ID - Pemerintah diminta menunda pemberlakukan omnibus law Undang-undang Cipta Kerja karena adanya penolakan publik yang begitu masif. Dengan demikian, pemerintah dapat melibatkan kelompok masyarakat untuk membahas pasal-pasal yang dinilai bermasalah selama masa penundaan.
“Sebaiknya pemerintah menunda saja pemberlakuan UU Cipta Kerja ini sembari secara bersama-sama kita perbaiki dalam tenggat waktu satu atau dua tahun ke depan,” kata Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (22/10/2020).
Anwar meyakini UU Cipta Kerja memiliki tujuan yang baik. Namun demikian, prosedur dan substansinya masih banyak bermasalah. Hal ini mengundang reaksi yang cukup luas dari para buruh, ormas-ormas Islam, perguruan tinggi dan lainnya, hingga memicu unjuk rasa di berbagai daerah.
Bahkan, di sejumlah wilayah, aksi demonstrasi berujung pada kerusuhan yang disertai tindakan brutal aparat keamanan. Menurut Anwar, kekerasan yang dilakukan aparat menimbulkan ketakutan sekaligus kemarahan masyarakat.
“Keadaan itu tentu saja tidak baik bagi negeri ini karena hal demikian tidak ubahnya seperti api di dalam sekam, sehingga tidak mustahil pada waktunya nanti api ini akan menyala dan membakar seluruh bangunan bangsa ini dan itu tentu saja tidak kita inginkan,” ujar Anwar.
Anwar menilai penundaan pemberlakuan UU Cipta Kerja menjadi pilihan bijak. Selama 1 sampai 2 tahun, diharapkan pasal-pasal dalam UU Cipta yang bermasalah dapat diperbaiki dan menguntungkan seluruh pihak baik buruh, pengusaha, juga lingkungan hidup.
Dengan demikian, seluruh pihak akan diterima masyarakat luas dan tidak lagi terjadi penolakan.
“Bila UU ini dengan segala cacat dan kekurangannya tersebut tetap dipaksakan pemberlakuannya maka tentu tidak mustahil dia akan bisa merusak semua yang kita inginkan dan cita-citakan tersebut dan itu tentu saja jelas tidak kita harapkan,” kata Anwar.
Sejak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disetujui menjadi undang-undang oleh DPR dan pemerintah dalam Rapat Paripurna pada 5 Oktober 2020, muncul penolakan dari berbagai kelompok masyarakat sipil.
Pengesahan UU tersebut menimbulkan kontroversi karena pasal-pasal di dalamnya dinilai merugikan masyarakat, khususnya para pekerja atau buruh. Selain itu, proses penyusunan dan pembahasannya pun dianggap tertutup dari publik.
Aksi demonstrasi terjadi di sejumlah daerah. Di beberapa daerah, aksi unjuk rasa berujung rusuh.