DEMOKRASI.CO.ID - Adanya ambang batas atau presidential threshold (PT) akan membuka peluang terjadinya transaksi politik agar bisa meloloskan calon presiden atau wakil presiden yang akan berkontestasi.
Terjadinya transaksi politik dari parpol atau pun si calon pemimpin akibat adanya ‘driver cost’ saat menembus ambang batas pencalonan. Gosipnya, hal itu memerlukan biaya yang sangat besar bahkan kadang nilainya enggak masuk akal,” ujar Direktur Ekskutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy, Satyo Purwanto kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (6/9).
Oleh karenanya, ambang batas akan menciptakan polarisasi lantaran potensinya selalu menghadirkan hanya dua pasangan calon dalam kontestasi Pilpres.
“Akibat distorsi ini, pada akhirnya rakyat tidak diberikan pilihan calon pemimpin yang terbaik akibat hanya terbatasnya kandidat. Akumulasinya adalah bangsa dan negara ini sangat dirugikan, bahkan yang lebih tragis terjadi dalam kontestasi pilkada sering hanya ada calon tunggal,” jelas Satyo.
Istilahnya melawan kotak kosong, kondisi ini mendegradasi demokrasi ke level terbawah. Ini dampak negatif penerapan threshold yang rawan konflik kepentingan dan politik uang,” pungkas Satyo.
Saat ini, sejumlah tokoh mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas pencalonan presiden. Beberapa tokoh yang mengajukan gugatan di antaranya ekonom senior Rizal Ramli dan pakar hukum tata negara Refly Harun yang meminta PT dihapus.