DEMOKRASI.CO.ID - Ahli telematika Roy Suryo mendorong supaya identitas semua influencer yang dibiayai negara diumumkan ke publik supaya kinerjanya bisa dinilai secara obyektif.
Roy Suryo menyebut influencer yang mendapatkan bayaran dari pemerintah sebagai: influencer-influencer piaraan rezim.
“Tweeps, sesuai ajakan moral agar “influencer-influencer piaraan rezim” ini diberi tanda (baca: dikalungin “peneng” seperti #Palasthund) karena makan uang keringat rakyat. Ini mulai ada media yang memuatnya, perlu terus dipublish dimana-mana agar masyarakat tahu kelakuannya,” kata Roy Suryo melalui akun Twitter @KRMTRoySuryo2.
Sejak awal, Roy Suryo mengkritisi kebijakan penggunaan jasa influencer untuk membantu pemerintah dari aspek komunikasi publik.
“Tweeps, meski mereka-mereka tidak semuanya golongan #Palasthund namun memang tidak bisa dipungkiri fakta bahwa ada afiliasi kesana. Maka wajar ada usulan bahwa influencer-influencer type ini layak diberi “kalung pengenal” (baca: peneng) agar publik tahu bahwa mereka dibayar untuk berpendapat seperti itu,” kata mantan menteri pemuda dan olahraga itu.
Dalam beberapa tweet terakhir, Roy Suryo menekankan alasan kenapa identitas influencer harus dikenali publik.
“Tweeps, karena banyak ditengarai membuat fungsi PR (humas) resmi pemerintah makan gabut, menghabiskan uang rakyat hampir 100 milyar dan berpotensi memecah belah anak bangsa, ada baiknya influencer-influener piaraan rezim ini dikenali dan dipublish agar masyarakat tahu (& tidak dipercaya lagi)” kata mantan menteri pemuda dan olahraga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Roy Suryo dalam tweet sebelumnya, mengkritik pernyataan juru bicara Jokowi, Fadjroel Rachman, yang menyebut para aktor digital sebagai key opinion leaders merupakan aktor penting dalam masyarakat berjaringan sebagai perkembangan era transformasi dan demokrasi digital.
“Tweeps, inilah kalau sudah mulai kehilangan akal sehat, influencer itu seharusnya hanya ibarat bumbu (suplemen) saja, digunakan bila perlu. Bukan dijadikan makanan pokok seperti sekarang ini, sehingga lembaga-lembaga PR resmi jadi unfaedah. Apa dibubarkan saja daripada hanya boros anggaran?” kata Roy Suryo.
Dalam siaran pers, Fadjroel Rachman mengatakan: “pada konteks pemerintahan demokrasi, kelas menengah, kelompok sosial yang sangat aktif di dunia digital, selalu dibutuhkan sebagai jembatan komunikasi kebijakan pemerintah dengan seluruh warga.”
Dia mengatakan dalam era masyarakat digital, para aktor digital yang merupakan key opinion leaders di banyak negara demokrasi, sangat aktif mengambil peran penting dalam komunikasi kebijakan publik.
Menurutnya, perkembangan masyarakat digital dengan peranan para aktor digital, salah satunya influencer, sebagai kelas menengah adalah keniscayaan dari transformasi digital.
“Aktor digital akan terus berkembang dalam peran-peran penting membangun jaringan informasi yang berpengaruh terhadap aktivitas produktif sosial ekonomi dan politik,” katanya.
Fadjroel menyampaikan Presiden Jokowi telah menyatakan bahwa Indonesia harus melakukan transformasi digital sebagai prasyarat transformasi ekonomi dan demokrasi digital.
Oleh karenanya, kata dia, banyak bagian dari strategi kebijakan yang perlu berpijak pada sistem dan masyarakat digital, termasuk pengakuan peran kuat aktor digital sebagai jaringan informasi.
“Sebuah keniscayaan di era digital, para aktor digital menjadi pemain penting perubahan paradigma dari top-down strategy ke participative strategy, di mana publik berpartisipasi aktif dalam komunikasi kebijakan,” kata dia.
Wakil Ketua Komisi IX Fraksi PKB Nihayatul Wafiroh sebelumnya mentoroti nilai anggaran untuk influencer. Anggaran yang diberikan untuk influencer jauh lebih besar daripada dana yang akan diberikan ke Kementerian Kesehatan.
Dalam tayangan Mata Najwa bertajuk “Melawan Corona”, Rabu (4/3/2020), Nihayatul mengatakan bahwa Kemenkes mendapat Rp30 miliar seperti yang telah direncanakan.
Nihayatul menganggapnya sebagai sebuah ironi. Pasalnya, pemerintah telah menganggarkan 72 miliar rupiah kepada influencer, untuk menggenjot pariwisata dan menepis isu corona yang sedang mewabah.
Nihayatul menilai pemerintah lebih memikirkan nilai ekonomi yang dihadapi daripada masalah kesehatan masyarakat. “Ini berarti menunjukkan pemerintah masih memikirkan persoalan ekonomi daripada preventif soal kesehatan kita.” kata Nihayatul.