DEMOKRASI.CO.ID - Perdebatan antara Rocky Gerung dengan Henry Subiakto, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dalam sebuah stasiun televisi ikut dikomentari Prof Dr Pierre Suteki.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini menilai sangat tidak etis bila dalam perdebatan yang disaksikan publik itu menyerang pribadi seseorang.
Apalagi sampai memamerkan kalau dirinya seorang profesor.
“Kenapa harus bawa-bawa jabatan profesor yang hanya berlaku di kampus. Enggak usah diomongin, semua sudah tahu kok anda itu profesor, guru besar di Universitas Airlangga. Yang dilihat itu bagaimana cara mendebat orang, menyanggah,” kata Suteki dalam kanal Hersubeno yang diunggah di YouTube, Kamis (3/9).
Mestinya, kata Suteki, dalam debat yang diadu adalah sesama guru besar. Bila kemudian publik ternyata tidak melihat gelar guru besar itu, harusnya semuanya dilepaskan.
Tak perlu mengungkit soal jabatan fungsional di perguruan tinggi. Perdebatan difokuskan pada pemikirannya dan bukan menyerang pribadi.
“Saya melihat perdebatan Prof Henry dan Rocky Gerung dari awal sampai akhir. Saya lihat hampir keduanya itu masuk pada argumen ad hominem,” ujarnya.
Dia menambahkan, mestinya dalam debat yang dikritisi adalah pemikirannya bukan pribadi karena jadinya tidak sehat. Ironisnya, perdebatan itu berlanjut ke medsos.
Henry menuliskan kritiknya kepada Rocky Gerung lewat Twitter dengan menghubungkan sang filsuf dengan Islam intoleran.
“Nah yang begini Ini seharusnya tidak terjadi. Karena semakin menunjukkan ketidakdewasaan seseorang,” ucapnya.
Suteki memaparkan, guru besar itu harus jadi contoh dan teladan. Seorang guru besar bisa mengkritisi kebijakan rektor atau pemerintah dan itu dijamin sebagai kebebasan mimbar akademik.
Kebebasan mimbar akademik ini hanya dimiliki seorang profesor atau dosen senior yang memiliki otoritas atau wibawa yang ilmiah untuk menyatakan secara terbuka bagaimana pandangannya menurut ilmu pengetahuan yang digeluti.
“Kebebasan itu mestinya tidak tertekan, bebas dari pengaruh pemerintah, swasta, parpol. Ketika sudah terkooptasi ya sudah seorang guru besar yang mestinya otak besar tetapi jadi otak kecil (ocil),” sergahnya.
Otak besar, lanjut Suteki misalnya tidak terbawa perasaan. Berargumen tidak menyerang pribadi.
“Ada juga orang-orang besar “pejabat tinggi” tetapi kalau bicara menyerang pribadinya. Itu justru cenderung menjadi kesesatan berpikir sehingga tidak sehat,” pungkasnya.