DEMOKRASI.CO.ID - Jelang gelaran pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah secara serentak pada Desember mendatang, kasus positif virus corona baru (Covid-19) belum menampakkan penurunan.
Bahkan dalam beberapa hari belakangan, tambahan pasien positif terus menembus rekor tertinggi di angka 3 ribuan per hari.
Kondisi inilah yang perlu dipertimbangkan pemerintah dan penyelenggara Pemilu untuk mengevaluasi Pilkada yang akan digelar di 270 wilayah di Indonesia.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Analisis Politik Indonesia (LAPI), Maksimus Ramses Lalongkoe, melihat kondisi Covid-19 saat ini, sudah tidak ada pilihan lain lagi selain menunda Pilkada 2020.
“Saya katakan, Pilkada sebaiknya ditunda karena bahaya covid mengancam masyarakat di tengah rendahnya ketaatan masyarakat mengikuti protokol kesehatan,” kata Maksimus Ramses Lalongkoe, Jumat (11/9).
Ia mengurai, wabah yang pertama kali muncul di Wuhan, China ini tak hanya meluluhlantakkan kesehatan masyarakat, melainkan juga segi ekonomi.
Hal ini makin parah dengan minimnya tingkat kesadaran masyarakat untuk menjaga protokol kesehatan, baik menggunakan masker, mencuci tangan, hingga menghindari kerumunan massa.
“Saya melihat perkembangan persiapan Pilkada di berbagai daerah, enggak ada pakai masker, enggak ada protokol kesehatan. Apakah ini berperikemanusiaan? Tidak,” tegasnya.
“Apalagi masih ada yang percaya Covid-19 tidak ada. Bahkan ada tokoh yang percaya ini (Covid-19) tidak ada. Sedangkan tokoh itu kan memiliki pengikut, ini kan berbahaya,” sambungnya.
Oleh karena itu, wajar bila penyelenggara Pemilu untuk melakukan evaluasi dan menunda gelaran Pilkada.
Soal waktu penundaan, ia meminta stakeholder terkait untuk membahasnya secara serius demi kepentingan kemanusiaan.
“Sampai kapan (ditunda)? Komisi II bisa melakukan riset, sampai kapan agar Pilkada bisa dilangsungkan. Minimal sampai kondisi membaik, Covid-19 menurun. Akan bahaya kalau Pilkada dipaksakan,” tandasnya.