DEMOKRASI.CO.ID - Pasca Konferensi Tingkat Tinggi Med-7, Italia memastikan diri mendukung Yunani dalam perlawanan terhadap Turki. Setelah Prancis, Turki juga harus menerima kenyataan harus berhadapan dengan Italia yang tadinya justru mendukungnya. Meski demikian, Presiden Recep Tayyip Erdogan sama sekali tak gentar dan kembali memberikan pernyataan keras.
Dalam berita VIVA Militer sebelumnya, Italia di bawah komando Perdana Menteri Giuseppe Conte, menyatakan dukungannya terhadap Yunani. Conte menganggap Turki melakukan klaim sepihak, dan harus dihentikan.
Pernyataan Conte itu menjadi sorotan. Sebab pada akhir Agustus 2020 lalu, Angkatan Laut Italia (Marina Militare) sempat mengikuti latihan gabungan bersama Angkatan Laut Turki (TDK) di Laut Mediterania Timur. Akan tetapi, Italia justru berbelok arah dan malah memilih menjadi lawan Turki.
Erdogan tahu persis Yunani akan didukung sejumlah negara Uni Eropa (UE). Presiden berusia 66 tahun itu juga sudah mendengar kabar bahwa Perdana Menteri Yunani, Kyriakos Mitsotakis, sudah berjumpa dengan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, untuk membahas lebih lanjut perihal konflik wilayah dengan Turki.
Pertemuan Mitsotakis dengan Macron juga dikabarkan membahas pembelian alat utama sistem persenjataan. Untuk memperkuat armada tempurnya, Yunani disebut akan membeli sejumlah jet tempur Dassault Rafale dan kapal perang jenis fregat dari Prancis.
Respons keras kembali dilontarkan Erdogan, tetapi kali ini ia punya cara yang unik. Dalam akun Twitter pribadinya, Erdogan mengunggah sebuah video yang berisi pernyataannya saat masih menjadi Walikota Istanbul. Apa yang diucapkan Erdogan kala itu, seakan pas untuk menanggapi tekanan dari Yunani dan sekutunya.
“Ada (hidangan) yang disajikan di meja untuk para serigala. Apakah Anda ingin memakan kami? Kami terlalu besar, Anda tidak akan berhasil. Anda tidak bisa memakan kami,” bunyi pernyataan Erdogan.
Sementara itu, Macron sendiri memprediksi bahwa Turki nantinya akan mendapat dukungan dari Rusia. Dalam kacamatanya, Macron melihat ada permainan yang dilakukan Turki dan Rusia yang tampak di front Suriah dan Libya. Menurut Macron, Erdogan memanfaatkan sejarah Kekaisaran Ottoman untuk merealisasikan ambisinya.
“Mediterania kami hari ini adalah teater konflik berkepanjangan, (seperti) di Suriah dan Libya. Permainan hegemoni kekuatan sejarah yang berusaha untuk mengguncang seluruh wilayah, dan peran Rusia serta Turki menjadi perhatian kami,” ucap Macron.