DEMOKRASI.CO.ID - Air bersih jadi persoalan tersendiri di Sembalun, NTB. Di beberapa tempat, masyarakat Sembalun harus membeli untuk dapatkan air bersih. Dan di saat bersamaan penginapan-penginapan besar di Sembalun menyediakan kolam renang bagi para tamunya.
Kekurangan air bersih ini bukan tanpa sebab, dilansir Mongabay, Minggu, (6/9/2020) pascagempa pada Juli 2018, sejumlah sumber mata air di Desa Sajang, Kecamatan Sembalun mengering. Kini desa ini bergantung dari sumber air bersih di desa tetangga.
Hal lain, pembangun berbagai sarana prasana pariwisata di Sembalun perlu air bersih tidak sedikit. Beberapa penginapan besar mengkavling sumber air bersih.
Salah satu warga Jayadi mengisahkan rumahnya selalu butuh air bersih. Hal ini lantaran rumah Jayadi menyatu dengan kebun dan tempat pengolahan kopi, persis di jalan utama jalur pendakian ke Gunung Rinjani. Dari halaman rumah, bisa melihat puncak Rinjani. Di lahan seluas 50 are itu, Jayadi bangun satu rumah panggung, satu aula, dapur, satu ruangan tempat mesin roasting, dan ruang meracik kopi. Akhir pekan, rumah ini ramai wisatawan lokal.
Kalau ada yang mau camping, Jayadi akan lebih sibuk. Dia menyiapkan makanan dan menu kopi, juga air bersih. Tandon 1.000 liter harus naik ke dalam pikap. Lalu berangkat ke satu sumur warga, Jayadi menyedot air sumur. Setelah penuh, Jayadi pulang, menyedot air dari dalam tandon dan menyimpan di sumur bawah aula.
Kalau membawa mesin air sendiri, dan lakukan sendiri, Jayadi hanya bayar Rp10.000 per tandon ke pemilik sumber air. Kalau terima jadi, dia harus merogok kocek Rp100.000 untuk per tandon. Jayadi memilih lebih repot.
Dalam seminggu, dia bisa beberapa kali mengambil air. Kalau tamu ramai, makin banyak kebutuhan air.
“Tidak ada sumber air,’’ kata pemilik usaha Kopi Key ini.
Tidak jauh dari Jayadi berdiri sebuah hotel cukup besar. Boleh dibilang satu penginapan favorit. Pada akhir pekan penginapan dengan pemandangan puncak Rinjani ini diserbu wisatawan.
Pada musim pendakian buka, penginapan ini selalu ramai. Acara-acara besar pun sering digelar. Lokasi penginapan ini masih satu jalur dengan Jayadi, hanya lokasi Jayadi sedikit lebih tinggi.
Pemandangan sangat kontras. Kalau Jayadi harus sibuk bolak balik mengambil air dengan tandon, tamu di penginapan ini bisa menikmati puncak Rinjani sambil berenang. Bukan hanya Jayadi, beberapa warga di desa ini juga merasakan kekurangan air.
G-Trek, salah satu penginapan kecil, milik warga pernah menolak tamu yang hendak menginap. Air tidak mengalir. Pemilik homestay kelelahan mengambil air bersih. Pada malam 17 Agustus itu, saat tamu ramai, dia menolak beberapa tamu yang hendak menginap karena kekurangan air bersih.
Pengelolaan air bersih di Sembalun, rumit. Terlihat dari pipa-pipa menyilang satu sama lain.Saya menelusuri pipa itu hingga ke mata air. Di salah satu sumber air adalah Rantemas. Air dari tempat ini mengalir ke Desa Sembalun dan Timbagading.
Ada dua pipa besar menempel di dinding bukit. Pipa inilah yang menjadi andalan warga di dua desa itu. Selain melayani perkantoran, pipa ini juga masuk ke rumah warga, penginapan, restauran. Sejak mulai beroperasi, air dari Rantemas tidak pernah mencukupi kebutuhan.
“Bukannya tambah melimpah namun makin kecil air yang mengalir,’’kata Royal, pengusaha penginapan dan café.
Royal juga Ketua Pokdarwis Lombok Timur ini bilang, konsultan dan pelaksana proyek tidak memerhatikan kondisi mata air. Tidak menghitung penduduk, pertumbuhan ekonomi dari pariwisata, dan kondisi mata air.
Proyek itu menelan dana hingga Rp2.5 miliar. Pihak desa juga mengeluarkan dana Rp180 juta untuk mendukung proyek ini. Kini, dengan dana itu Royal merasa hasil tidak maksimal. Dana besar tetapi tidak bisa menyediakan akses air bersih ke masyarakat.
Perebutan sumber mata air pun terjadi. Yang punya modal besar bisa membeli mata air. Bagi masyarakat umum, harus menerima air dengan debit seadanya. Kalau ingin air lebih banyak, mereka harus keliling membawa tandon.