Oleh: Fachrul Rasyid Hf
SIANG itu, Juni 1942, ada sesuatu yang berubah pada diri Soekarno. Ia tampil lebih elegan. Peci hitamnya yang semula pendek berubah bentuk menjadi lebih tinggi. Rupanya, itulah peci baru hadiah dari Syekh Abbas Abdullah. Kenang-kenangan yang diberikan Syekh Abbas di Jorong Padang Japang, Kecamatan Guguk, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat, sebelum kemerdekaan Indonesia.
“Peci ini kuberikan supaya kamu menyadari bahwa bangsa Indonesia ini mayoritas umat Islam,” kata Syekh Abbas, seperti dituturkan Kepala Desa Padang Japang, Harmaini, 61 tahun, kepada Gatra. Syekh Abbas adalah penerus Darul Funun El Abbassyiah (DFA), pondok pesantren tebesar dan pelopor pembaruan di Sumatera Tengah.
Waktu itu, peci merupakan indentitas kaum muslim. “Umat akan mendu kung kamu, selama kamu tidak memisahkan agama dan pemerintah. Kamu juga harus berhati-hati terhadap kaum komunis dan sekuler yang akan menghancurkan bangsa kita,” kata Syekh Abbas, seraya menatap Bung Karno yang masih membetulkan letak pecinya.
Peci tinggi itu tampak pas. Serasi dengan wajah Bung Karno yang kala itu agak kurus. Peci lama Bung Karno -yang sudah lusuh dan pendek- ditinggalkan di surau syekh. Bung Karno tampak menikmati peci barunya. Beberapa kali ia bercermin di dinding kamar Syekh Abbas. Sesaat kemudian keduanya melangkah ke halaman Gedung DFA, sekitar 50 meter dari kediaman syekh. Di situ, Bung Karno berpidato sekitar 30 menit di hadapan para siswa, lalu pamit kembali ke Padang.
Namun, sebelum pulang, Bung Karno diapit Syekh Abbas dan Syekh Mustafa -kakak beradik putra Syekh Abdullah, pendiri DFA- dijepret juru kamera Said Son. Tiga hari kemudian, Syekh Abbas mengungkapkan pertemuannya dengan Bung Karno di hadapan guru dan siswa DFA, usai salat Jumat di Masjid Al-Abbasyiah. Kedatangan Bung Karno ke DFA untuk membicarakan konsep dasar-dasar dan penyelenggaraan negara.
Syekh Abbas menyarankan bahwa negara harus berdasar ketuhanan. Selain itu, ia juga mengingatkan agar Bung Karno pandai-pandai menjaga martabatnya. Sebab, menurut syekh, gigi taring sebelah kanan Bung Karno dempet. Maksudnya? “Biasanya orang bergigi begitu bersifat ramang mata, alias mudah jatuh cinta kepada wanita,” kata Syekh Abbas.
Maka, jika tidak berhati-hati, Bung Karno bisa tacemo alias tercela oleh wanita. “Peci itu, paling tidak, akan senantiasa menyadarkan kita kepada agama dan bangsa,” kata Syekh Abbas. Tak jelas, apa reaksi Bung Karno saat menerima petuah itu.
Yang pasti, di mata Bung Karno, Syekh Abbas adalah orang yang dicarinya, untuk dimintai pendapatnya sehubungan dengan persiapan kemerdekaan Indonesia. Dan, kesempatan itu muncul saat ia terbebaskan dari tawanan Belanda di Bengkulu, 1942. Saat itu, Jepang mulai memasuki Indonesia. Cemas melihat situasi negeri ini yang mulai kacau, Bung Karno yang dibui di Bengkulu diboyong Belanda ke Kota Cane, Aceh.
Kala perjalanan sampai di Painan, sekitar 70 kilometer dari Padang, Bung Karno ditinggalkan. Belanda ketakutan karena Jepang telah sampai di Bukittinggi. Maka, bersama istrinya, Ibu Inggit dan seorang anak angkatnya, Bung Karno naik pedati ke Padang.
Dua hari kemudian mereka sampai di Padang, dan disambut Abu Bakar Djafar. Pakaian Bung Karno yang kotor kemudian diganti dengan beberapa setelan jas oleh Persaudaraan Saudagar Indonesia (Persdi). Lalu, pakaiannya yang kumuh dibagikan kepada anggota Persdi untuk kenang-kenangan.
Dari Padang, rombongan meneruskan perjalanan ke Bukittinggi. Ia bermalam di kota dingin itu, dan membebaskan Anwar Sutan Saidi, ayah Rsutam Anwar, pemilik Hotel Minang, tokoh pergerakan yang ditahan Jepang karena dituduh berpihak kepada Belanda. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan ke Payakumbuh. Dari sini, Bung Karno menuju Jorong Padang Japang, yang jalan tanahnya berdebu sejauh 18 kilometer. Ia disambut ribuan warga serta siswa DFA dan Nahdhatunnisyaiyah di sepanjang jalan 500 meter.
Peninjauan Bung Karno ke Jorong Padang Japang ternyata cukup “rumit”. Misalnya, ia masih harus menuruni ratusan anak tangga yang terbuat dari sabut kelapa. Lalu, untuk menuju kampus DFA, ia meniti pematang tebat nan berliku, yang cuma bisa dilewati satu orang sejauh 600 meter.
Kini, kampus DFA menyisakan dua bangunan. Yakni, enam lokal ruang belajar dan kantor merangkap asrama siswa berukuran 22 x 12 meter. Kondisi bangunan itu menyedihkan. Langit-langitnya lapuk dimakan usia. Makam dua ulama besar, Syekh Mustafa Abdullah dan Syekh Abbas Abdullah, ditumbuhi lumut menandakan jarang dikunjungi orang. Setelah lama tak aktif, sejak tahun 1994 DFA kemudian dihidupkan kembali oleh Jendral Purnawirawan Aditiawarman Thaha. Kegiatan belajar mengajar dipindahkan ke gedung baru tiga lokal dengan seratusan siswa, persis di atas tebing gedung lama.
DFA, yang didirikan Syekh Abdullah pada 1875, awalnya hanya pengajian sistem halaqah di sebuah masjid tua beratap ijuk. Setelah Syekh Abdullah meninggal pada 1903 dalam usia 73 tahun, DFA ditangani dua putranya, Syekh Abbas dan Syekh Mustafa. Keduanya pernah diasuh ulama Minangkabau terkemuka di Mekkah, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Mereka juga belajar di beberapa perguruan di Timur Tengah dan Eropa. Bahkan, keduanya sempat jadi murid Syekh Djamaluddin Al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh di Kairo, Mesir.
Pulang ke Tanah Air pada 1919, dalam usia 36 tahun, Syekh Abbas bersama Syekh Abdul Karim Amarullah, ayah almarhum Prof. Dr. HAMKA, dan beberapa ulama tamatan Mesir, mendirikan sejumlah sekolah dengan satu nama: Madrasah Sumatra Thawalib. Inilah madrasah pertama sistem klasikal yang memakai papan tulis serta kursi dan meja. Tapi, pada 1930, Syekh Abbas mengganti nama sekolahnya menjadi DFA karena menolak bergabung ke dalam Persatuan Muslimin Indonesia (Permi).
DFA tak sebatas mengajarkan Al-Quran dan Hadits, tapi juga ilmu falaq, geografi, fisika, kimia, aljabar, serta kesenian, semuanya dalam bahasa Arab. DFA juga punya barisan pandu terlatih, grup kesenian, dan kesebelasan yang mampu bermain hingga ke Singapura. Majalah Al Imam adalah media perjuangan mereka.
Syekh Abbas, berdarah Arab Yaman, bertubuh tinggi kekar dan bercam bang, tak memerlukan bantuan siapa pun dalam mengelola pesantrennya. DFA bisa tumbuh pesat berkat dukungan tanah wakaf penduduk dan usaha kebun karet dan tujuh toko buku milik Syekh Abbas di kota Payakumbuh. Toko itu adalah merupakan agen dan penyalur buku-buku asal Timur Tengah untuk Sumatera Tengah. Pada 1940, siswa DFA tercatat lebih dari 4.000 orang. Mereka berdatangan dari berbagai pelosok Sumatera, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand.
Sejalan dengan kemajuan itu, sekolah ini merupakan basis perjuangan kemerdekaan. Pasukan jihad untuk menghadapi penjajah Belanda terlahir dari sini. Waktu itu, Syekh Abbas sendiri terpilih menjadi imam (panglima) jihad wilayah Sumatera Tengah. Itu sebabnya, beberapa kali Belanda ingin memberangus DFA. Namun, niat itu selalu urung terlaksana setelah Belanda bertatap muka dengan Syekh Abbas.
Kala Bung Karno mengunjunginya, Syekh Abbas yang telah menanti di tangga Surau Baru, nama kediaman syekh, ia tampak kurang sedap menyambut. Rupanya syekh kecewa berat. Soalnya, janji Bung Karno kurang tepat, alias molor dua jam. Bung Karno baru tiba di kampus DFA pukul 13.00. Padahal, warga dan siswa sudah capek menanti. Masakan rendang dan gulai kambing untuk sang tamu pun lama tak tersentuh. “Kalau begini nanti kau memimpin negara ini, rakyat akan kecewa. Negara akan binasa,” kata Syekh Abbas.
Bung Karno, yang paham watak keras Syekh Abbas, cuma tersenyum dan menunduk. Mereka berdua kemudian masuk ke kamar kerja syekh. Hampir tiga jam keduanya berbicara empat mata. Sementara itu, Ibu Inggit dan anak angkatnya ditemani Nurjani dan Zuraida, keponakan syekh, berbincang di ruang tamu. Saat makan siang inilah Bung Karno dihadiahi peci tinggi. Sejak itu, Bung Karno selalu mengenakan peci tinggi, dan tampak lebih gagah.
Peci tinggi itu seakan menjadi tak terpisahkan dari Bung Karno. Peci itu pula yang pernah digunakan Bung Karno sebagai alat “diplomasi”. Kala Bung Karno mengunjungi Kuba, pada 1962, pemimpin Revolusi Kuba Fidel Castro sempat bertukar “tutup kepala” dengannya. Castro ganti mengenakan peci Bung Karno, dan kepala Bung Karno ditutupi topi tentara ciri khas Castro. Keduanya tertawa lepas menikmati adegan langka ini.
(Fachrul Rasyid HF& Majalah GATRA 9 Juni 2001)