DEMOKRASI.CO.ID - Ben Bland, Direktur Program Asia Tenggara di lembaga Lowy Institute dalam bukunya berjudul ‘Man of Contradictions – Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia’, memaparkan sejumlah ‘kontradiksi’ Jokowi.
Ben menyebut, “setelah mengamati dari dekat, terlihat bahwa semakin lama Jokowi berada di Istana sebagai Presiden maka semakin pudar pula janji-janjinya”.
Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN), Adib Miftahul mengatakan, dinasti politik yang saat ini coba dibangun oleh Jokowi salah satu bagian daripada kontradiksi itu.
“Kalau kita lihat dulu, Jokowi lahir karena dianggap simbol dari rakyat jelata, bukan bagian dari orang yang berada di lingkar elit politik, dan orang biasa,” kata Adib kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (5/9).
Dengan begitu, publik atau rakyat berharap sosok Jokowi dapat mendobrak sistem-sistem politik dan melawan dominasi oligarki politik.
Oleh sebab itu, tambah Adib, Jokowi di awal saat dirinya berkampanye pada pemilihan presiden, narasi yang dibangun adalah koalisi tanpa syarat dan tegaskan tidak bagian dari oligarki politik.
“Dan itulah yang membuat magnet politik Jokowi dulu sangat kuat, sehingga orang mau memilih dia, karena prototype Walikota Solo yang dijual,” tandas Adib.
Namun sayang, sambung Adib, narasi yang dibangun oleh Jokowi, dirinya bakal membentuk koalisi tanpa syarat, bukan bagian daripada oligarki politik tetapi anak dan menantunya maju dalam Pilkada Kota Solo dan Medan ini sudah sangat mengkonfirmasi penelitian Ban Bland.
“Itu justru menganulir semua narasi yang dibangun oleh Jokowi, dengan langkah-langkah politiknya saat ini,” tandas Adib.
Dalam pengamatanya dari dekat lalu kemudian dituangkan dalam buku, Ben Bland, menyebut Jokowi yang sebelumnya menawarkan diri bukan bagian dari elit politik, telah berubah menjadi elit yang membangun dinasti politiknya sendiri.
“Sosok yang pernah dipuja karena reputasinya yang bersih, malah telah memperlemah lembaga pemberantasan korupsi, memicu aksi demonstrasi mahasiswa dan pelajar,” tulis Ben.
Dikatakan Ben, kelemahan kepemimpinannya terungkap oleh krisis Covid-19. Pemerintahannya menunjukkan jejak-jejak buruk: tidak menghargai pendapat pakar kesehatan, tidak mempercayai gerakan masyarakat sipil, dan gagal membangun strategi terpadu.
Strategi politik Jokowi sangat sederhana, yaitu mendengarkan apa yang dikehendaki rakyat dan mencoba wujudkannya, seperti yang terlihat “efektif” saat dia menjadi walikota Solo.
“Tapi ketika memerintah sebuah negara berpenduduk begitu banyak, ribuan pulau, beragam agama dan suku, serta 550 walikota dan gubernur terpilih, jadi 550 Jokowi lainnya yang ingin menjalankan kepemimpinannya masing-masing, maka politik menjadi semakin kompleks,” jelasnya.