DEMOKRASI.CO.ID - Sekitar seribuan orang berkerumun di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Solo pada Jumat (4/9/2020) sejak pukul 13.00. Mereka menanti kedatangan Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa yang hendak mendaftar sebagai calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo yang diusung PDIP. Pukul 15.30, keduanya tiba dengan sepeda ontel.
Kerumunan simpatisan di tengah pandemi COVID-19 pun tak terelakkan. Dan ini hanya satu dari sekian banyak contoh.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 menyatakan penyerahan dokumen pendaftaran ke KPU--digelar sejak Jumat lalu hingga Minggu (6/9/2020)--dilakukan dengan protokol kesehatan. Pendaftaran hanya diikuti oleh ketua dan/atau sekretaris partai pengusung dan bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerah. Pasal 50 menyebut, KPU dapat menyediakan siaran langsung sehingga massa pendukung, lembaga pemantau pemilihan, media, dan masyarakat dapat memantau dari kediaman masing-masing.
Aturan itu tak diindahkan. Selama tiga hari itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menemukan ada 243 pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran, yakni dengan membawa sejumlah pendukung dan melakukan pengerahan massa. Dari jumlah itu, merujuk pada catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), 51 pelanggar adalah calon petahana.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik mengaku telah melayangkan surat teguran keras terhadap mereka. Menurutnya, pengerahan massa yang dilakukan para calon bertentangan dengan upaya pemerintah memutus penyebaran pandemi COVID-19. Sementara anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar akan menyampaikan teguran melalui KPU. Bawaslu juga akan melaporkan dugaan pelanggaran itu ke aparat berwenang, yakni kepolisian, Satpol PP, dan TNI.
“Bawaslu meminta penanganan pelanggaran bisa dilaksanakan secara tegas oleh instansi lain seperti kepolisian, Satpol PP, Satgas Pencegahan COVID-19, bahkan TNI,” kata Fritz lewat keterangan tertulis, Senin (8/9/2020).
KPU pun diminta tegas untuk melaksanakan protokol kesehatan yang telah ditetapkannya.
Potensi Klaster
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana mengatakan yang menjadi masalah dari regulasi yang dibuat KPU adalah tidak adanya penjelasan tentang tindakan taktis untuk mengatasi kerumunan massa.
Hal itu sudah disuarakan dalam uji publik saat penyusunan PKPU, tapi toh tidak diakomodasi, katanya.
Kejadian saat pendaftaran beberapa hari lalu membenarkan kekhawatiran tersebut.
“Di Surabaya terlihat jelas adanya adu dorong antara pendukung calon dengan pihak Polri yang mengamankan proses pendaftaran. Di Tangerang Selatan salah satu calon merasa tidak bertanggung jawab adanya mobilisasi massa pendukungnya meski timnya sudah memberitahukan adanya batasan kehadiran di KPUD,” kata Aditya dalam keterangan tertulis, Senin (8/9/2020).
Karenanya, Adit menuntut adanya mitigasi kejadian serupa pada tahapan berikutnya. Ke depan, KPU mesti menggelar simulasi dengan melibatkan semua pihak. Dia pun mendukung jika kepolisian membubarkan kerumunan pendukung jika sudah melampaui batas yang diperkenankan.
Ini penting karena di mana ada kerumunan, di situlah ada potensi penyebaran COVID-19. Para ahli, juga organisasi kesehatan dunia (WHO), telah menegaskan ini berkali-kali sejak virus muncul.
Presiden Joko Widodo bahkan menyebut “klaster pilkada” sebagai salah satu yang harus diwaspadai selain “klaster keluarga” dan “klaster kantor.” “Ini perlu saya sampaikan, hati-hati yang namanya klaster kantor; yang kedua, klaster keluarga; yang terakhir, klaster pilkada. Hati-hati,” kata Jokowi dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (7/9/2020).
COVID-19 pulalah yang sempat membuat penyelenggara pemilu dan pemerintah serta DPR memikirkan opsi menunda pilkada. Meski memang, akhirnya mereka memutuskan tetap menggelar pilkada Desember ini dengan janji menerapkan protokol secara ketat. Penerapan protokol juga yang membuat anggaran pilkada naik.
Sejauh ini memang belum ada laporan penularan virus dari orang-orang yang mengikuti pendaftaran. Namun yang jelas, menurut KPU, ada 37 bakal calon yang positif COVID-19 setelah mengikuti tes swab pada 4-6 September. Mereka diwajibkan isolasi sampai sembuh.
Direktur Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati menuntut pemerintah, DPR, dan KPU tidak saling lempar tanggung jawab, tetapi segera duduk bersama mengevaluasi kepatuhan terhadap protokol kesehatan dalam pelaksanaan pilkada. Dia mengingatkan, ketika memutuskan menggelar pilkada pada Desember 2020, mereka berkomitmen memastikan protokol kesehatan dipatuhi secara ketat.
Ini bahkan tak terlihat dalam tahap paling awal.
“Jika pemerintah, KPU, dan DPR tidak dapat memastikan protokol kesehatan akan dipenuhi secara ketat, kami mendesak agar tahapan Pilkada 2020 ditunda terlebih dulu sehingga pelaksanaan pilkada tidak menjadi titik baru penyebaran COVID-19,” katanya.
Sementara Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan semestinya para calon dan elite--baik partai atau pemerintahan--memberikan teladan. “Tunjukkanlah keteladanan yang baik di hadapan publik dengan tidak membiarkan massa menumpah, termasuk segala aksi dan deklarasi politik massa apa pun namanya,” kata Haedar dalam keterangan tertulis, Senin (8/9/2020).