DEMOKRASI.CO.ID - Prancis diyakini tak akan berani benar-benar berperang melawan militer Turki untuk membantu Yunani terkait sengketa maritim di Laut Mediterania timur.
Jikapun Angkatan Laut Prancis tetap nekat mengerahkan Kapal Induk Charles de Gaulle ke Laut Mediterania untuk membantu Yunani memerangi Turki. Dipastikan dalam dua hari kapal induk nuklir itu bakal dengan mudah dilumpuhkan militer Turki.
“Saya tidak percaya Prancis akan berani bentrok dengan Turki. Jikapun terjadi, Saya pastikan kapal induk yang dikirim Prancis akan mampu direbut militer Turki dalam dua hari,” kata mantan komandan perang Angkatan Laut Turki, Laksamana (Purn) Deniz Kutluk dilansir VIVA Militer, Kamis 3 September 2020.
Menurut Laksamana Kutluk dalam wawancaranya dengan veryansintv, Prancis tidak akan berani terlibat lebih jauh apalagi sampai angkat senjata mengerahkan pasukan untuk konfrontasi langsung dengan Turki di Laut Mediterania timur.
Sebab, pengerahan pasukan Prancis ke Mediterania Timur merupakan sebuah pelanggaran hukum internasional. Kutluk mengatakan, ancaman pengerahan pasukan yang digadang-gadang Prancis hanya sebatas manuver geopolitik untuk kepentingan bisnis.
“Ini adalah manuver geopolitik. Di satu sisi, mereka ingin menjual senjata dan kapal di Yunani. Langkah-langkah tersebut harus dihentikan oleh badan-badan internasional karena merupakan pelanggaran hukum.,” kata Kutluk.
Untuk diketahui, sebelumnya Prancis menebar ancaman kepada Turki terkait sengketa di Laut Mediterania timur. Prancis mendadak berencana mengerahkan armada perang laut besar-besaran ke perairan tersebut untuk mendukung militer Yunani.
Tak tanggung-tanggung, Prancis berencana mengirimkan kapal induk nuklir andalannya, Charles de Gaulle dan serombongan kapal perang lainnya lengkap dengan jet-jet tempur dan helikopter serbu.
Kapal induk bertenaga nuklir terbesar di Eropa Barat itu disebutkan akan diberangkatkan dari Pelabuhan Toulon. Digambarkan rombongan pasukan militer Prancis itu bergerak dalam posisi siap tempur.
Pengerahan pasukan Angkatan Laut Prancis ke Mediterania timur dipicu ancaman perang yang dilontarkan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan kepada Prancis dan Yunani.
Erdogan telah menyatakan siap menumpahkan darah dan berkorban nyawa untuk mempertahankan hak kedaulatan wilayah maritim di Laut Mediterania timur.
Erdogan bahkan dengan tegas menyatakan tak takut berperang melawan negara manapun di Mediterania timur termasuk Yunani dan Prancis yang bersekutu.
Sementara itu, saat ini di Laut Mediterania timur sedang berlangsung latihan perang besar-besaran yang digelar Angkatan Laut Turki, latihan perang bersandi dalam sebuah operasi bernama Navtex. Operasi ini baru saja diperpanjang hingga 11 September 2020.
Prancis sebenarnya bukan pihak langsung yang terlibat dalam sengketa maritim di Laut Mediterania timur. Yang bersengketa sebenarnya Turki dan Yunani. Hanya saja Prancis menilai Turki bersalah dengan melakukan kegiatan seismik di perairan itu. Malah Prancis mengirimkan jet tempur ke Yunani untuk membantu memerangi Turki.
Situasi di Laut Mediterania timur memanas setelah Turki memindahkan pasukannya dari Laut Hitam ke perairan itu. Pemicunya, Turki marah besar atas perjanjian batas maritim yang secara sepihak disepakati Yunani dan Mesir.
Turki tak terima dengan hasil kesepakatan dalam perjanjian yang dibuat Yunani dan Mesir. Sebab, sebelum ada perjanjian itu, Turki sempat meredakan ketegangan di Mediterania dengan menunda eksplorasi survei seismik yang digagas Stasiun Antalya Navtex di selatan dan timur Pulau Kastellorizo Yunani.
Turki menunda semua aktivitas seismik untuk menghargai penolakan yang dilayangkan Yunani terkati Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Namun setelah Yunani dan Mesir menandatangani perjanjian ZEE, Turki juga nekat melanjutkan survei dengan kembali melayarkan Kapal Oruc Reis dengan dikawal kapal-kapal perang.