DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menangani COVID-19 di sembilan provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Papua, dan Bali. Luhut sendiri yang mengumumkan perintah ini pada Senin 14 September lalu.
Ada tiga tugas utama yang diberikan kepadanya, yaitu “penurunan penambahan kasus harian, peningkatan recovery rate, dan penurunan mortality rate.”
Presiden memberi tenggat dua pekan untuk ‘menteri segala urusan’ tersebut. Namun, sudah lebih dari satu minggu, tak ada perubahan berarti.
Merujuk data Pemprov DKI, sepanjang 15-21 September, 61.694 penduduk ibu kota sudah dites dan didapati 7.243 kasus positif. Tingkat kasus positif (positivity rate) mencapai 11,7 persen. Angkanya fluktuatif tiap pekan. Positivity rate 8-15 September mencapai 13,4 persen; 31 Agustus-6 September 12,4 persen (7.368 kasus baru setelah pengetesan 59.190 orang); dan 7-13 September 11,9 persen (8.430 kasus baru dari jumlah pengetesan 70.994).
Pada 15 September, tercatat ada 1.468 kematian dari 56.593 kasus, sehingga case fatality rate (CFR) sebesar 2,6 persen. Seminggu berselang, jumlah kematian melejit jadi 1.592 dari 64.196 kasus, tetapi CFR Jakarta turun menjadi 2,5 persen. Pada 9 September alias seminggu sebelum Luhut turun tangan, rasio kematian 2,7 persen.
Sebanyak 43.306 pasien sembuh dari 56.593 kasus (tingkat kesembuhan 76 persen) pada 15 September. Pada 21 September, jumlah pasien sembuh bertambah jadi 49.630 dari 64.196 kasus sehingga rasionya menjadi 77 persen. Sementara pada 9 September, rasio kesembuhan di Jakarta 75 persen.
Di Jabar, sepanjang 15-21 September, tercatat total ada 3.139 kasus baru, melonjak tinggi dibanding pekan sebelumnya, 9-15 September, yang hanya mencatatkan 1.563 kasus baru.
Bagaimana dengan tingkat kematian? Sepanjang 15-21 September didapati 25 kematian akibat COVID-19. Jika dijumlahkan, tercatat ada 330 kematian dari 18.077 kasus–artinya CFR mencapai 1,8 persen. Sementara sepanjang 9-15 September didapati 20 kematian. Total kematian ketika itu mencapai 237 dari 8595 kasus positif, sehingga rasio kematiannya adalah 2,7 persen.
Pasien yang dinyatakan sembuh sepanjang 15-21 September ada 2.456. Jumlahnya lebih banyak dibanding periode 9-15 September, 1.443 pasien. Per 21 September, 10.755 pasien sembuh dari total 18.077 pasien terkonfirmasi sehingga rasio kesembuhannya 59,5 persen. Sementara pada 15 September, terdapat 8.319 orang sembuh dari total 15.231 kasus sehingga rasio kesembuhannya 54.6 persen.
Di Sulsel, sepanjang 15-21 September, terdapat penambahan 945 kasus baru, lebih tinggi dibanding periode 8-14 September yakni 633 kasus. Tingkat kematian pada 21 September mencapai 2,8 persen–399 kematian dari 14.396 kasus. Angka itu lebih rendah dari 15 September, yakni 2,9 persen, dan 9 September 3,0 persen.
Pada 21 September tercatat ada 10.551 kesembuhan dari 14.396 kasus, sehingga tingkat kesembuhan mencapai 73,3 persen. Angka itu lebih rendah dibanding 15 September yang mencapai 75,2 persen dan 9 September 76,4 persen.
Di Jatim, sepanjang 15-21 September, terjadi penambahan 2.267 kasus, lebih tinggi dari sepekan sebelumnya, 2.097 kasus. Dari aspek kematian, pada 21 September tercatat ada 2.990 kematian dari 41.076 kasus, sehingga tingkat kematian mencapai 7,2 persen, tak berubah dari 15 September.
Dalam skala nasional, kasus COVID-19 berpusat di provinsi yang ‘dipegang’ Luhut. Kontribusinya mencapai 46 persen dari total kasus nasional. Selain itu, 60 persen kematian akibat COVID-19 disumbangkan oleh DKI, Jatim, dan Jateng. CFR tertinggi di Indonesia pun berada di Jatim dan Jateng.
Kecenderungan penambahan kasus nasional pun meningkat. Pada 14 September, ketika Luhut mengumumkan ia diperintahkan khusus Jokowi menangani Corona di sembilan provinsi, penambahan kasus mencapai 3.141. Penambahan kasus harian semakin sering berada di angka lebih dari 4.000 (19 September, 21 September, 22 September, dan 23 September). Bahkan pada 23 September, penambahan kasus harian mencatatkan rekor baru: 4.465.
Salah Orang, Salah Target
Mouhammad Bigwanto, epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, mengatakan memang tidak ada perubahan berarti setelah Luhut ditunjuk Presiden. Namun menurutnya itu wajar belaka sebab tenggat tak masuk akal.
“Dua minggu itu enggak masuk akal. Dari sisi inkubasi virus enggak masuk akal, dari sisi pencarian informasi upaya pencegahan yang efektif juga enggak masuk akal,” katanya kepada reporter Tirto, Rabu (23/9/2020).
Bigwanto mengingatkan bahwa masa inkubasi virus itu dua pekan. Jadi jika misalnya hari ini kasus meningkat, maka kemungkinan infeksi terjadi sebelum Luhut ditunjuk. Dan jika pun Luhut berhasil menekan laju penularan, maka hasilnya akan baru terlihat setelah dua pekan.
Berbeda dengan membangun jalan tol yang bisa dipatok tenggatnya, epidemiologi dilandasi pada pemantauan jangka panjang alias surveilans. Data-data terkait pandemi harus dikumpulkan, diolah, dianalisis, kemudian diinterpretasi. Proses pengumpulan data itu dilakukan secara sistematik dan terus menerus supaya didapat informasi yang tepat untuk merumuskan kebijakan pencegahan yang juga efektif.
Salah satu contohnya adalah kebijakan pelarangan masker scuba. Ini didasari pada pemantauan kasus penularan terhadap mereka yang bermasker tetapi tidak sesuai standar. Contoh lain ialah terjadinya banyak kasus infeksi di ruang tertutup sehingga disimpulkan bahwa COVID-19 bersifat airborne.
“Kebijakan yang diperbarui tersebut dipantau penerapannya dan dilihat peningkatan kasusnya, apa betul efektif menekan kasus,” kata dia. Sayangnya, sudah lebih dari enam bulan pandemi melanda Indonesia, belum terlihat hasil penyelidikan epidemiologi terhadap pasien positif COVID-19.
Di sisi lain, Bigwanto juga mengkritisi penunjukan Luhut untuk menangani COVID-19 di daerah-daerah zona merah tersebut. Tupoksi Luhut di kabinet sama sekali tidak berhubungan dengan pandemi.
Pemerintah toh sudah memiliki Satuan Tugas Penanganan COVID-19 di tingkat pusat hingga daerah. Semestinya satgas yang lebih diberdayakan dan koordinasi antara satgas dan kementerian ditingkatkan.
“Terlihat memang pemerintah ini berat ke ekonomi, jadi yang ditunjuk mengurus pandemi justru Menko Maritim dan investasi,” kata Bigwanto.
Luhut sendiri sadar bahwa bidang ilmu dia memang bukan epidemiolog. Namun, ia mengatakan didukung orang-orang yang ahli, termasuk dari Kementerian Kesehatan. Dalam konferensi pers virtual di Youtube Kemenko Maritim dan Investasi, Jumat 18 September, ia mengatakan hanya berperan sebagai manajer.
“Dan saya kira, saya boleh mengklaim sebagai manajer yang baik,” kata Luhut.