DEMOKRASI.CO.ID - Sudut pandang keilmuan epidemiologi harus menjadi tolok ukur utama bagi Presiden Joko Widodo dalam menentukan keberhasilan seluruh bidang di masa pandemi Covid-19, baik bidang ekonomi maupun politik.
Hal itu disampaikan Direktur Legal Culture Institute, M Rizqi Azmi berkenaan dengan hasil rapat kerja Komisi II DPR RI bersama dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu yang memutuskan Pilkada Serentak 2020 tetap digelar bulan Desember tahun ini.
“Seyogianya presiden meletakan prioritas regulasi kesehatan menjadi acuan dalam membuat regulasi pelaksanaan pilkada,” kata M Rizqi Azmi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/9).
Hal itu dinilai penting agar ke depan keputusan yang diambil benar-benar demi kepentingan rakyat, bukan karena ada agenda lain.
“Jangan sampai presiden terksesan memaksakan pilkada karena kepentingan pribadi terkait dua keluarganya yang ikut bertarung di Solo (Gibran Rakabuming) dan Medan (Bobby Nasution),” jelasnya.
Di sisi lain, ia sepakat dengan usulan penundaan pilkada. Sebab dengan ditunda, daerah-daerah yang akan melangsungkan pilkada bisa mengadaptasi penyelarasan anggaran, khususnya menyelesaikan soal pendataan bansos dan penyalurannya di masa pandemi Covid-19.
Sebab berdasarkan data yang ia miliki, hingga September 2020, dana yang dikucurkan pemerintah pusat masih banyak bertengger di Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) dan belum tersalurkan dengan baik.
“Kekhawatiran kami, dana yang tersimpan tersebut bisa jadi akan digelontorkan mendekati hari H atau di hari H pemilihan oleh pihak-pihak atau oknum yang bermain mengganti bansos dengan suara yang didapat dari masyarakat yang dibantu,” urainya.
Selain itu, kepentingan partai politik juga harus berpihak kepada keinginan dan keselamatan masyarakat karena pada saat ini, hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat.
“Sehingga opsi penundaan pilkada jangan dianggap sebagai langkah politis saling jegal satu sama lainnya,” tutupnya.