DEMOKRASI.CO.ID - Pernyataan Jurubicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman yang menyebut influencer sebagai ujung tombak demokrasi digital merupakan suatu hal yang “ngaco”.
Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas) Andi Yusran menilai bahwa demokrasi sejatinya menegasikan sesuatu yang bersifat rekayasa dan mobilisasi. Sementara influencer itu tugasnya membentuk opini by design.
“Nilai-nilai demokrasi mewujud kepada pembentukan opini oleh para opinion leader sungguhan yakni opinion leader yang mewakili kepentingan dan senapas dengan publik,” ujarnya saat berbincang dengan Kantor Berita RMOL Jakarta, Rabu (2/9).
Sedangkan opini yang direkayasa oleh opinion leader semu yang dibentuk dan didesain oleh rezim, akan disesuaikan dengan kepentingan rezim.
“Para influencer/ buzzer yang didesain oleh rezim dan dibiayai oleh ‘uang publik’ (APBN) adalah bentuk penzaliman kentara oleh rezim kepada publik,” tegasnya.
Fadjroel Rachman sebelumnya menyebut bahwa influencer adalah aktor digital yang memiliki peran penting dalam menyampaikan komunikasi kebijakan publik.
Menurut Fadjroel, para influencer ini menjadi key opinion leader atau pihak yang berpengaruh pada suatu opini di tengah perkembangan era transformasi dan demokrasi digital saat ini.
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menyatakan pemerintah telah menghabiskan Rp 90,45 miliar untuk aktivitas digital yang melibatkan jasa influencer.