DEMOKRASI.CO.ID - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid memberikan catatan atas pernyataan Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Puan Maharani, terkait penilaiannya agar Sumatera Barat (Sumbar) mendukung Negara Pancasila. Penilaian itu kemudian mendapat respons luas, karena dinilai tidak sesuai dengan fakta, dan menyakiti hati rakyat Sumbar.
Penilaian, itu semakin runyam setelah muncul klarifikasi dari politikus PDI Perjuangan Zuhairi Misrawi yang berangkat dari prasangka buruk terhadap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang selama 10 tahun, kadernya dipilih rakyat untuk memimpin Sumbar.
“Bagi yang lupa sejarah, baik klasik maupun kontemporer, ingatlah ajaran Bung Karno: Jas Merah! Sumatera Barat itu erat kaitannya dengan Pancasila dari dulu hingga sekarang. Kita semua harus berani jujur memahami sejarah, agar bisa menghargai semua daerah yang ada di Indonesia, agar tetap kokoh kuatlah NKRI,” ujarnya melalui siara pers di Jakarta, Jumat (4/9).
Hidayat yang akrab disapa HNW menuturkan, banyak tokoh dari yang sekarang disebut Provinsi Sumatera Barat, terlibat langsung merumuskan dan memutuskan Pancasila sebagai dasar Negara, bersama Soekarno, kakek dari Puan M. Mereka ada yang di BPUPK, Panitia Sembilan, atau terlibat saat memfinalkan Pancasila pada 18 Agustus 1945 bersama PPKI. Tokoh-tokoh tersebut, antara lain Mr M Yamin, Drs. M Hatta, dan H Agus Salim.
HNW juga menilai wajar apabila (warga) Sumatera Barat dari dulu hingga sekarang, istiqamah dengan Pancasila yang disepakati final pada 18 Agustus 1945, sebagai komitmen mereka terhadap hasil perjuangan para tokoh bangsa, yang berasal dari Sumbar.
“Masyarakat Sumbar, termasuk kader-kader PKS di sana, dari dulu sampai sekarang tetap melaksanakan Pancasila, dan tidak pernah mengusulkan untuk ubah Pancasila yang bisa diperas menjadi Trisila atau Ekasila. Mereka juga tak pernah usulkan perubahan Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi Ketuhanan yang berkebudayaan. Hal-hal kontroversial yang tercantum dalam RUU HIP yang ditolak oleh khalayak ramai itu,” jelasnya.
Memang benar, selama 10 tahun terakhir Sumbar dipimpin oleh Prof Irwan Prayitno, tokoh Minang yang kader PKS juga. Beliau dipilih secara demokratis dan dimenangkan oleh mayoritas warga Sumbar. Seandainya, Irwan Prayitno dan PKS tidak mendukung Pancasila, yang itu artinya mengkhianati warisan perjuangan tokoh-tokoh Bangsa dari Sumbar, tidak mungkin Warga Sumbar memenangkannya, apalagi sampai 2 kali pemilihan Gubernur.
Setelah periode pertama masa jabatan sebagai Gubernur, Prof Irwan Prayitno diajukan kembali dalam kontestasi pemilihan gubernur. Rakyat Sumbar memilih secara rasional, bebas dan terbuka, dan ternyata kembali warga Sumbar memenangkan Prof Irwan Prayitno, kader PKS itu.
Tokoh yang oleh warga Sumatera Barat juga dirasakan bagaimana kinerja unggulan dari Gubernur Sumatera Barat itu, dengan telah mendapatkan ratusan penghargaan dan apresiasi di tingkat nasional, yang tak mungkin diberikan kalau Gub Sumbar tak berprestasi dan tidak dukung Pancasila.
Atau kalau Gub Sumbar, kader PKS itu, hanya menghadirkan politik identitas dan intoleran sebagaimana dituduhkan oleh politikus PDIP itu. Fakta kontemporernya, Sumbar dan Gubernurnya selama 10 tahun ini mendapatkan ratusan penghargaan di tingkat nasional, bahkan dari Presiden RI, diantaranya, penghargaan Parahita Eka Praya dari Presiden SBY pada 2012.
Lalu, pada 2014 dan 2017 malah Presiden Jokowi memberikan penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara serta penghargaan Pembina Kabupaten dan Kota Peduli HAM kepada Gubernur Sumbar.
“Itu bukti bagaimana Sumatera Barat sampai sekarang pun, saat dipimpin oleh kader PKS, tetap menjaga serta melaksanakan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara, bahkan dengan kualitas unggulan, sehingga dua Presiden RI dari latar belakang partai yang berbeda, memberikan penghargaan negara,” tambahnya.
Kinerja itu tetap dijaga oleh Gubernur Irwan Prayitno, bahkan sekalipun dengan segala keterbatasan anggaran dan fasilitas. Saat bangsa Indonesia dan rakyat Sumbar terkena darurat kesehatan covid-19, Gubernur Irwan dinilai berkinerja terbaik sehingga mendapatkan penilaian positif dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) karena berhasil menguji spesimen 3.000 per hari sekalipun APBD-nya tidak tinggi. Serta mendirikan Rumah Sakit Khusus untuk pasien Covid-19.
“Mendagri bahkan meminta kepala-kepala daerah lain untuk menghubungi dan belajar dari Gubernur Sumbar,” ungkapnya.
Penilaian Mendagri ini juga bukti lain kesalahan persepsi dan opini bahwa Sumbar tidak mendukung Pancasila. Pasalnya, Mendagri saat ini adalah mantan Kapolri dan mantan Kepala BNPT. Seandainya tuduhan mereka benar, tentu tak mungkin Mendagri dengan latar belakangnya seperti itu akan memberikan pujian dan rekomendasi kepada Gubernur Sumbar yang kader PKS.
HNW menyampaikan begitulah seharusnya Pancasila diamalkan, yakni dengan tindakan nyata yang berkualitas, bukan sekadar klaim dan retorika. Ia menuturkan bahwa sebentar lagi pemilihan Gubernur akan dilaksanakan di Sumbar, dan sudah semestinya melalui pesta demokrasi lokal pilgub Sumbar, adu program dan gagasan dalam kontestasi melaksanakan Pancasila-lah yang dikedepankan.
“Bukan malah kepentingan politik jangka pendek yang mwnghadirkan intoleransi dengan memaksakan opini dan framing yang kontroversial, yang bisa merusak demokrasi. Apalagi dengan mengabaikan fakta sejarah dan realita kekinian atas komitmen Sumatera Barat untuk terus mendukung dan melaksanakan Pancasila. Komitmen dan istiqomahnya warga Sumbar itu mestinya diapresiasi, bukan malah disalahpahami, karena memang terbukti Sumbar tetap mendukung dan melaksanakan Pancasila yang final, yakni Pancasila 18 Agustus 1945, malah secara berkualitas pula” pungkasnya.