logo
×

Sabtu, 05 September 2020

Hindari Narasi Memecah Belah

Hindari Narasi Memecah Belah

DEMOKRASI.CO.ID - Pejabat negara perlu berhati-hati dalam membuat pernyataan ke publik. Tanpa kehati-hatian, sebuah pernyataan sensitif rawan menyulut kontroversi. Di tengah upaya bangsa Indonesia mengatasi pandemi corona (Covid-19), dibutuhkan soliditas dan persatuan. Pejabat seyogianya tampil menjadi suluh dan memberi teladan, bukan justru memancing kegaduhan.

Dua pejabat negara mendapat sorotan dalam beberapa hari terakhir lantaran membuat pernyataan yang dinilai kontroversial. Keduanya adalah Menteri Agama Fachrul Razi dan Ketua DPR RI Puan Maharani. Fachrul menyebut anak muda yang berpenampilan menarik (good looking) dan menguasai bahasa Arab sebagai pembawa radikalisme di masjid-masjid di Indonesia.

Adapun Puan dikecam lantaran melontarkan pernyataan “semoga Sumbar memang mendukung negara Pancasila” saat ia mengumumkan calon gubernur-calon wakil gubernur Sumbar yang didukung partainya, PDIP.

Seperti biasa, pernyataan kontroversial yang berbau identitas atau bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) akan dengan mudah memecah masyarakat ke dalam dua kubu. Di media sosial, adu argumen dan saling serang terjadi antara kubu yang pro dan kontra. Klarifikasi sudah disampaikan atas pernyataan tersebut, tetapi penolakan masih saja bergulir. Bahkan dalam kasus Puan, sejumlah mahasiswa melaporkan Ketua DPP PDIP tersebut ke Bareskrim Polri kemarin.

Sejumlah kalangan menilai situasi ini sebagai hal yang ironis. Di tengah krisis multidimensi yang dialami masyarakat akibat dari pandemi corona, sebagian energi justru harus tercurah ke hal-hal yang tidak produktif. Dalam situasi sulit seperti ini para elite maupun masyarakat diharapkan bisa sama-sama menahan diri untuk tidak terlibat dalam perseteruan yang tidak perlu.

“Dalam situasi seperti sekarang kita memerlukan situasi yang tenang dan kondusif. Berbagai bentuk kegaduhan yang tidak perlu sebaiknya kita kurangi,” ujar Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti saat dihubungi KORAN SINDO kemarin.

Menurut Mu’ti, sebaiknya para tokoh, terutama pejabat negara, berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan. Semua pernyataan seharusnya didasarkan data yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Di sisi lain masyarakat juga perlu tenang dan tidak mudah terprovokasi. Apalagi tak jarang dalam situasi keruh ada yang memanfaatkannya untuk kepentingan politik sehingga membuat suasana kian keruh.

“Masyarakat juga tidak perlu memberikan reaksi yang berlebihan. Jika ada pernyataan yang kontroversial sebaiknya klarifikasi dan tidak dipolitisasi,” ujarnya.

Komentar sensitif yang berujung kontroversi bukan sekali ini saja terlontar dari pejabat negara. Sebelumnya Menteri Agama juga menuai kecaman karena pernyataannya mengenai penggunaan cadar dan celana cingkrang di kalangan PNS. Bahkan pada April 2019 Mahfud MD saat menjabat sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) juga dikecam karena menyebut Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan sebagai wilayah garis keras. Mahfud kemudian mengklarifikasi bahwa yang dimaksudnya adalah di keempat wilayah tersebut dulunya pernah terjadi aksi pemberontakan keagamaan.

Pada Januari lalu Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly didatangi warga Tanjung Priok di kantornya di kawasan Kuningan Jakarta Selatan karena komentarnya. Menurutnya Tanjung Priok banyak melahirkan tindakan kriminal karena tingkat perekonomian yang miskin, tetapi yang sebaliknya terjadi di kawasan permukiman Menteng. Situasi mereda setelah Yasonna menyampaikan permintaan maaf.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Oktober 2017 lalu juga memantik kontroversi. Anies dikecam atas ucapan “pribumi” pada pidatonya seusai dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta. Anies saat itu menyatakan, “Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri.” Kehatian-hatian pejabat semakin dibutuhkan dalam situasi seperti saat ini karena masyarakat sedang dalam kesulitan.

Katib Suriyah PBNU KH Mujib Qulyubi meminta agar di tengah pandemi corona, para tokoh bangsa tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menimbulkan polemik dan berpotensi memunculkan perpecahan di tengah umat. “Saya kira bagaimana mengatasi Covid-19 dan dampaknya, yakni dampak ekonomi yang ditimbulkan, itu yang terpenting. Saya kira soal-soal yang berbau politik itu dikesampingkan dulu. Pernyataan-pernyataan kontroversial itu tolong ditahan dulu, apalagi kalau pernyataan itu subjektif,” tuturnya.

Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta ini mengatakan, pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi yang menyebutkan bahwa penyebaran radikalisme dilakukan oleh mereka yang memiliki tampang menarik atau good looking, menguasai bahasa Arab, dan hafal Alquran atau hafiz adalah penilaian yang subjektif.

“Misalkan Menag menyebut good looking, ya definisi good looking itu saya kira terlalu subjektif. Ya, kalau di masjid itu kan saya rasa semua good looking. Saya dengar good looking itu kan mereka yang hafal Alquran, itu aduh saya kira jangan dikecilkan begitulah,” ujarnya.

Dia berulang kali mengingatkan Menag untuk menghindari membuat kegaduhan dengan membuat definisi-definisi yang sangat umum dan subjektif. “Karena kan di pondok-pondok pesantren yang hafal Alquran itu kan sangat banyak. Andai ada yang kasuistis, itu jangan digeneralisasi, itu pun kalau ada,” tuturnya.

Kritik yang sama juga disampaikan Kiai Mujib kepada Puan Maharani. “Termasuk pernyataan Mbak Puan, beliau kan ketua DPR. Walaupun dia seorang politisi, tapi indikator Pancasilais itu kan tidak boleh semudah itu,” ujarnya.

“Marilah kita menghadapi Covid-19 yang nyata-nyata ada dan belum terkendali ini. Jadi saya kira jangan dipecah belah,” lanjutnya.

Komunikasi Publik Pemerintah Bermasalah

Dalam pandangan pengamat komunikasi politik dari Universitas Airlangga Suko Widodo, seringnya pejabat “salah ngomong”, khusunya pejabat pemerintahan, itu dipicu oleh manajemen komunikasi publik yang tidak berjalan baik. Komunikasi pemerintah menurut dia memerlukan pengelolaan yang rapi.

Berhubung ucapan dan pendapat para pejabat publik adalah representasi dari kepemerintahan, maka mesti hati-hati. “Jangan sampai ada ucapan menuduh atau menilai sesuatu yang bisa melukai perasaan masyarakat. Justru sebaliknya harus mengakomodasi dan merespons positif,” ujarnya. (Baca juga: 5 Camilan Malam yang Enak, juga Menyehatkan)

Dia meminta pemerintah membuat pengelolaan atau manajemen komunikasi publik yang bagus untuk mencegah hal seperti ini terus berulang. Pemerintah, menurut dia, harus banyak mendengar dan banyak mengumpulkan data. Setelah itu informasi dan data dianalisis.

Jikapun ada yang berbeda dari sikap warga, lebih baik pejabat pemerintah berusaha memahami dahulu. Baru setelah itu pendapat versi pemerintah disiapkan untuk disampaikan agar tidak berbenturan dengan apa yang dirasakan rakyat.

“Narasi-narasi yang menuduh atau bahkan mengancam hendaknya tidak disampaikan. Karena itu justru akan memperlihatkan arogansi kekuasaan. Jadi jangan melawan rakyat, tetapi yang baik membangun percakapan akrab dengan rakyat,” paparnya.

Di tengah kesulitan akibat pandemi, rakyat sedang membutuhkan dipandu. Solidaritas dan persatuan akan sangat menentukan cepat atau tidak bangsa Indonesia keluar dari krisis. Meski banyak dikritik, dia meminta pejabat pemerintah tidak mudah tersulut emosi.

“Butuh sabar dan ketulusan mendengar suara rakyat. Psikologi sosial masyarakat sedang rapuh karena pandemi ini. Mereka butuh ditemani, bukan dituduh, apalagi diberi ancaman-ancaman,” katanya mengingatkan.

Pernyataan Ketua Bidang Politik dan Keamanan PDIP Puan Maharani soal “semoga Sumbar mendukung negara Pancasila” bergulir bak bola salju. Beragam tanggapan dan komentar diberikan atas pernyataan putri Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri itu.

Ucapan Puan itu dilontarkan saat pengumuman cagub-cawagub Sumbar yang didukung oleh PDIP. Puan berharap Sumbar menjadi provinsi yang mendukung negara Pancasila. “Rekomendasi diberikan kepada Insinyur Mulyadi dan Drs H Ali Mukhni. Merdeka,” kata Puan, Rabu (2/9).

“Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila,” sebut Puan.

Tudingan Menag Fachrul Razi kepada anak muda yang berpenampilan menarik (good looking) dan menguasai bahasa Arab sebagai pembawa radikalisme di masjid-masjid di Indonesia juga tak ayal menuai kontroversi. Komisi VIII DPR RI pun meminta agar Menag banyak belajar kajian radikalisme.

“Pernyataan Menteri Agama soal radikalisme yang masuk ke masjid-masjid melalui seorang anak yang menguasai bahasa Arab dan good looking tidak sepenuhnya tepat. Jangan menggeneralisasi gejala munculnya paham radikalisme hanya pada suatu gejala
tertentu,” kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily kepada wartawan, Jumat (4/9).

Menurut Ace, jika Menag keliru mendeteksi suatu gejala pemahaman radikalisme pada masyarakat, dalam membuat kebijakan melawan radikalismenya itu juga pasti akan keliru pula. Untuk itu dia menyarankan Menag agar banyak membaca kajian dan studi tentang radikalisme di Tanah Air. Karena ada banyak studi
dan kajian yang telah dilakukan untuk menelusuri mengapa paham radikalisme itu menyebar. Salah satunya melalui media sosial (medsos).

“Sebaiknya Pak Menteri mempelajari dulu secara komprehensif berbagai kajian dan studi tentang bagaimana paham radikalisme itu menyebar,” ujar politikus Partai Golkar tersebut.

Sementara itu Sekretaris Umum Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) Nasyirul Falah Amru menyatakan, apa yang disampaikan Puan Maharani maknanya bukan bahwa masyarakat Sumbar tidak mendukung Pancasila. Puan, menurut dia, justru ingin menunjukkan pengakuan bahwa orang Minangkabau sangat berperan dalam pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Jadi pernyataan beliau (Puan) itu dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat Pancasila di seluruh Nusantara, tidak hanya di Sumbar,” ungkap Gus Falah dalam keterangannya kemarin.

Lebih lanjut politikus PDIP itu mengingatkan, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta yang merupakan orang Minang. Menurutnya, perjuangan kemerdekaan dan pendirian Republik Indonesia juga melibatkan berbagai tokoh dari Minangkabau seperti Sutan Sjahrir, KH Agus Salim, Prof Muhammad Yamin, Hajjah Rangkayo Rasuna Said, serta Moh Natsir. Dan sebagai cucu proklamator, Puan sangat memahami sejarah tersebut. Maka itu Gus Falah meminta semua pihak memahami secara utuh pernyataan Puan tersebut.
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: