DEMOKRASI.CO.ID - Dokumen laporan bank-bank besar dunia yang disetor ke intelejen Amerika Serikat (AS) bernama FinCEN Files bocor di kalangan media internasional.
Ribuan lembaran dokumen yang diajukan sejumlah bank di Negri Paman Sam untuk diinvestigasi oleh Jaringan Intelejen Penegakan Kejahatan Keuangan AS (Financial Crimes Enforcement Network/FinCEN) tersebut juga ramai diperbincangkan di Tanah Air.
Salah satu yang turut menyampaikan pendapatnya ialah aktivis Haris Rusly Moty, yang disampaikan melalui akun Twitternya, @motizenchannel, Selasa (22/9).
Dalam postingannya tersebut, Rusly Moty meminta agar stakeholder terkait pemerintahan ikut mendalami data-data keuangan perbankan dunia yang bocor tersebut.
Pasalnya, dokumen itu memperlihatkan adanya transaksi janggal bank-bank besar dunia yang diduga berkaitan dengan praktik pencucian uang. Di mana isi dari FinCEN Files itu totalnya mencapai 2.657 dokumen. Namun didalamnya terdapat 2.100 laporan aktifitas mencurigakan (Suspicious Activity Report/SAR).
“Terlepas dari perhatian terkait kegagalan kepemimpinan Jokowi dalam penangan Covid, perlu juga cermati bocoran skandal keuangan dari FinCEN yang sebutkan 20 bank di Indonesia terlibat cuci duit, skandal Sukhoi, Trimarga (2011-2013) hingga Haji Isam,” demikian Rusly Moty.
Sebelumnya diberitakan, sebanyak 2.100 laporan aktifitas mencurigakan yang diajukan bank-bank di AS ke FinCEN tercatat antara tahun 2000 dan 2017, dan mencakup transaksi senilai 2 triliun dolar AS atau sekitar Rp 29.400 triliun (kurs Rp 14.700 per dolar AS).
Fenomena bocornya dokumen itu secara tidak langsung menunjukkan bagaimana uang dari hasil kriminal seperti perdagangan narkotika, penyelundupan, dan pelaku skema ponzi (pencucian uang) lainnya mengacak aliran pemasukannya melalui beberapa bank besar di dunia, dan menggunakan perusahaan Inggris anonim untuk menyembunyikan uangnya.
Awal perkara ini mencuat tahun 2019, ketika perusahaan media AS, BuzzFeed News mendapatkan dokumen besar dari catatan keuangan Departemen Keuangan AS (USDT).
BuzzFeed kemudian membagikannya dengan Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional atau The International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Di dalamnya, terdapat 108 mitra media yang terdapat di 88 negara yang memperoleh bocoran dokumen milik intelijen AS tersebut.
Dalam kurun waktu 16 bulan ke belakang, ada 400 jurnalis dari ICIJ itu melakukan pendalaman materi dokumen yang bocor, baik menggunakan metode wawancara kepada penyelidik dan korban, menuangkan catatan pengadilan dan arsip, serta meninjau data tentang jutaan transaksi yang terjadi antara tahun 1999 dan 2017.
Alhasil, ratusan wartawan di ICIJ mendapat akses ke 17.600 catatan tambahan dengan tautan ke lembaga keuangan melalui permintaan Undang-Undang Kebebasan Informasi serta dari sumber lain selama proses investigasi.
Di dalam proses investigasu itu ICIJ menemukan laporan bank-bank besar yang menyelesaikan lebih dari 2 triliun dollar AS transaksi yang tertandai mencurigakan. Maksudnya, bank-bank melaporkan aktivitas mencurigakan setelah melakukan transaksi kepada klien-kliennya tersebut.
Maka dari itu, FinCEN File seringkali didefinisikan sebagai catatan USDT yang paling detail namun bocor. Dari catatan di dalamnya diungkap, transaksi semacam itu diproses oleh bank-bank besar dunia, seperti Deutsche Bank, HSBC, JPMorgan, Chase, dan Barclays.