DEMOKRASI.CO.ID - Pengamat ekonomi Faisal Basri menilai ada dua hal yang menyebabkan Pertamina merugi pada semester pertama 2020.
Dua hal itu ialah penjualan bensin di sektor hilir migas dan kerugian penjualan minyak mentah di sektor hulu migas.
Pada sektor hilir, kerugian Pertamina disebabkan konsumsi BBM yang turun tajam pada transportasi darat dan udara selama triwulan kedua 2020.
Faisal menjelaskan, pembatasan sosial dengan aturan PSPB dimulai pada April di berbagai daerah membuat masyarakat tidak ada pengeluaran untuk bensin.
“PSBP diterapkan di beberapa daerah, tetapi itu berada di pulau Jawa.
Penggunaan BBM di seluruh pulau Jawa lebih dari setengah penggunaan BBM secara nasional,” ucapnya, Senin (1/9).
Pada sektor hulu, Pertamina dirugikan dengan anjloknya harga minyak mentah dunia.
Pada Maret hingga April, rata-rata harga minyak mentah dunia anjlok di kisaran USD 30 per barel. Hingga saat ini harga minyak dunia belum pulih sampai harga di titik sebelum pademi covid-19, di kisaran 55 USD per barel.
“Harga minyak mentah dunia anjlok, sedangkan ongkos untuk biaya operasional tidak turun, ya, rugi,” tutuR Faisal Basri.
Akademisi dari Universitas Indonesia Itu menambahkan, kerugian Pertamina merupakan yang paling kecil di antara kerugian yang dialami perusahaan migas di seluruh dunia.
“Hampir semua perusahaan migas dunia mengalami kerugian di masa pademi, tetapi Pertamina kerugiannya paling kecil,” jelasnya.
Dia menuturkan bahwa kerugian perusahaan migas dialami oleh British Petroleum dengan nilai USD 21,21 miliar.
Dia membandingkan dua perusahaan migas yang nilai asetnya mendekati Pertamina, yakni ConocoPhillips dan Eni.
ConocoPhillips mengalami kerugian dua kali lebih besar dari Pertamina. “Eni merupakan perusahaan migas Italia, rugi 10 kali lipat dibanding Pertamina,” terangnya.