DEMOKRASI.CO.ID - Pernyataan keras dilontarkan Ketua Umum ProDem Iwan Sumule menanggapi pernyataan jubir Presiden Fadjroel Rachman yang menyebut influencer ujung tombak di era demokrasi digital.
Iwan menegaskan, influencer pihak penguasa bebas memfitnah dan adu domba. Sementara pihak lawan diancam UU ITE.
“Ujung tombak demokrasi dari mana? Influencer pihak penguasa bebas memfitnah dan adu domba, sementara pihak lawan diancam UU ITE, pemblokiran, dll. Isi kepala Bung @fadjroeL mungkin terjadi penyusutan, atau mungkin maksudnya “demokrasi di ujung tombak”?” tulis Iwan di akun Twitter
@KetumProDEM memanggapi tulisan bertajuk “Istana Sebut Influencer Ujung Tombak Demokrasi Digital”. Pengamat politik Gde Siriana menyebut ‘netizen plat merah’ berbayar bukan bagian dari civil society, tetapi berstatus vendor pemerintah.
“Netizen plat merah berbayar bukan bagian dari civil society tetapi tak lebih statusnya adalah vendor pemerintah. Partisipasi masyarakat artinya meski tidak dibayar dengan APBN tetapi aktif mengkritisi kebijakan publik,” tegas Gde Siriana di akun @SirianaGde.
“Influencer : Borosnya pemerintah beli kosmetik!,” tambah @SirianaGde.
Tak kalah keras, wartawan senior Farid Gaban mempertanyakan guna influencer atau buzzer. “Negara ditopang oleh humas dan juru bicara di tiap instansi dari pusat, provinsi, hingga kota/kabupaten. Mereka digaji negara, mereka menguasai anggaran negara. Apa guna influencer/buzzer? Agar humas/jubir bisa makan gaji buta berikut fasilitas mewahnya, sambil ngibulin rakyat?,” sindir Farid di akun @faridgaban.
Farid pun membandingkan fungsi jurnalis dengan buzzer ataupun influencer. “Jurnalisme itu metode untuk menggali dan mengabarkan fakta. Di dalamnya ada standar teknis dan etik. Tak semua yang mengaku jurnalis adalah jurnalis; harus diuji berdasar standar tadi. Buzzer/influencer bekerja tanpa standar etik. Mereka cuma juru propaganda (corong/humas),” tegas @faridgaban.
Aktivis politik Taufik Rendusara juga menyoal pernyataan Fadjroel. Menanggapi cuitan @faridgaban, Taufik di akun @Toperendusara1 menulis: “Ikutan… Yang dimaksud Pak Jubir itu yang salah menurut saya. Influencer yang di”bayar pemerintah” tidak bisa dibilang partisipasi masyarakat lagi karena saat ini influencer tersebut menjadi corong suara pemerintah, seperti biro agitasi propaganda pemerintah. Gitu loh…”.
Sebelumnya, kepada wartawan, Fadjroel Rachman, menilai para aktor digital, salah satunya influencer, merupakan bagian penting dalam perkembangan informasi dan demokrasi digital. Fadjroel menyatakan, dalam konteks pemerintahan demokrasi, para influencer dibutuhkan sebagai jembatan untuk mengkomunikasikan kebijakan kepada masyarakat.
“Pada konteks pemerintahan demokrasi, kelas menengah, kelompok sosial yang sangat aktif di dunia digital, selalu dibutuhkan sebagai jembatan komunikasi kebijakan pemerintah dengan seluruh warga. Oleh karenanya, dalam era masyarakat digital, para aktor digital yang merupakan key opinion leaders di banyak negara demokrasi sangat aktif mengambil peran penting dalam komunikasi kebijakan publik,” kata Fadjroel (31/08).