DEMOKRASI.CO.ID - Ketua DPP PDIP Puan Maharani adalah korban perundunggan (bullying) mereka yang selama ini memendam kemarahan dan kebencian subyektif kepada tokoh politik dan pemerintahan.
Para pelaku itu selama ini mencari celah untuk menumpahkan kebencian dan kemarahannya.
Momen itu ditemukan melalui pernyataan Puan Maharani “Semoga Sumbar menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila”.
Demikian disampaikan Kapitra Ampera kepada JPNN.com, Kamis (10/9).
“Mereka melihat ada celah di ventilasi, lalu dia bongkar itu ventilasi, dia jadikan pintu masuk untuk menumpahkan segala amarahnya itu,” ujarnya.
“Caranya apa? Mengamputasi seluruh kalimat-kalimat lalu dia tafsirkan sendiri,” sambung Kapitra.
Sejatinya, kalimat cucu Proklamator RI itu adalah sebuah doa dan harapan sekaligus pengingat dan menguatkan bagaimana pancasilaisnya masyarakat Sumbar.
“Jadi kalau saya katakan ‘semoga kau nak, jadi memang anak yang saleh’. Apakah dia berandalan? Apakah dia preman? Bajingan? Kan tidak demikian,” tutur Kapitra.
Hanya saja, sambungnya, kalimat Puan itu oleh mereka langsung dimutasi.
“Ditafsirkan sendiri bahwa Mbak Puan menuding, menuduh, bahwa mereka tidak pancasilais,” ungkapnya.
Mantan pengacara Habib Rizieq ini juga menilai mereka yang mem-bully Puan tengah mencari pembenaran denga membangun jembatan ke masa lalu.
Mereka menghidupkan kembali nisan tokoh-tokoh masa lalu yang berjuang untuk negara, seperti Tan Malaka, Bung Hatta, M Yamin, dan lainnya.
Akan tetapi, katanya, mereka sebenarnya lupa dengan apa yang terjadi setelah tokoh-tokoh yang mendirikan pondasi negara ini serta meletakkan pilar-pilar kebangsaan.
“Mereka membangun jembatan masa lalu untuk hari ini, tetapi mereka lupa dua hal. Pertama, pemberontakan PRRI yang justru bertentangan dengan tokoh-tokoh sebelumnya,” ucap Kapitra.
Kemudian yang kedua, kata pengacara kelahiran Padang ini, mereka tidak melihat realitas hari ini bahwa tak ada lagi spirit Tan Malaka atau orang seperti Tan Malaka yang mereka lahirkan.
Atau seperti Mohammad Yamin dan ulama besar sekelas Buya Hamka.
“Sebenarnya kemarahan (ke Mbak Puan) kemarin itu kemarahan untuk dirinya sendiri,”
“Tetapi dia coba membangun kemarahan yang imajinatif dan menumpahkannya kepada Puan Maharani, orang kampungnya sendiri,” tegasnya.
Mbak Puan, atau belakangan dipanggil Uni Puan, tambah Kapitra, merupakan orang Minang. Neneknya maupun bapaknya keturunan Minang.
Sehingga, lanjut Kapitra, aneh bila orang Minang justru mem-bully perempuan pertama yang menjadi ketua DPR RI itu.
“Kalau segerombolan orang, mem-bully perempuan di Tanah Minang, apa kata ibu-ibu orang Minang? Apa kata emak-emak, mandeh-mandeh orang Minang?”
“Pasti dia akan katakan ‘gantilah celana kau dengan rok’,” pungkas Kapitra.