DEMOKRASI.CO.ID - Pernyataan Jurubicara Istana, Fadjroel Rachman yang menyebut influencer sebagai aktor digital yang jadi ujung tombak transformasi dan demokrasi digital terus dikritisi banyak pihak.
Salah satunya Direktur Ekskutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy, Satyo Purwanto yang merasa heran dengan pernyataan Fadjroel karena tidak sesuai dengan bantahan sebelumnya soal keberadaan influencer.
“Pemerintah pernah klarifikasi dan membantah kan bahwa pemerintah tidak menggunakan influencer, berarti yang perintah influencer ini si Fadjroel dong? Mungkin demokrasi digital versi si Fadjroel ini namanya buzzer,” ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (2/9).
Terlepas dari itu, Satyo mempertanyakan fungsi dan kegunaan adanya humas di setiap kementerian/lembaga jika pemerintah masih menggunakan jasa influencer.
“Kominfo apa dong gunanya? Dan humas di setiap kementerian dan lembaga apa manfaatnya kalau pemerintah masih menggunakan jasa influencer?” herannya.
Satyo menilai bahwa pernyataan Fadjroel tidak ubahnya sebuah testimoni pribadi. Di mana seorang buzzer atau influencer harus bisa menjadi teladan sehingga mendapat perhatian penguasa. Ujungnya, bisa menjabat komisaris di BUMN dan jubir presiden.
“Cerita si Fadjroel ini mungkin sebuah testimoni menjadi buzzer teladan. Yaitu sering-seringlah “jual kecap” kayak si Fadjroel,” pungkas Satyo.