DEMOKRASI.CO.ID - Ambang batas atau Presidential Threshold (PT) dalam UU 7/2017 dianggap menjadi sebuah berhala yang mendistorsi nilai-nilai demokrasi.
Begitu kata Direktur Ekskutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy, Satyo Purwanto atas pengajuan Judicial Review (JR) yang diajukan oleh mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Rizal Ramli.
“Sudah berkali-kali MK menolak gugatan uji materi soal ambang batas, seharusnya pemilihan presiden, wapres dan cakada berstatus open legal policy dan siapapun bisa mengajukan calon pemimpin negara,” ujar Satyo Purwanto, Minggu (6/9).
Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Prodem ini pun mempertanyakan sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap tidak sesuai dengan berlandaskan pembukaan UUD 1945.
“Patut dipertanyakan MK ini melakukan uji materi UUD negara mana sih sebenarnya? Mestinya legal standing-nya Pembukaan UUD 1945 RI dong, di situ disebut juga Pancasila yang menjadi filosofi dasar negara RI,” jelas Satyo.
Menurut Satyo, UU 7/2017 tentang Pemilu bertentangan dengan Pasal 6a UUD 1945. Sehingga seharusnya pengaturan pemilu tidak mesti ditafsirkan berbeda UUD 1945.
Siapapun dan partai politik apapun dalam pemilu mestinya bisa berkesempatan mengajukan calonnya masing-masing.
“Persoalannya adalah berhala yang namanya “threshold” atau ambang batas yang menyebabkan mendistorsi nilai-nilai demokrasi,” jelas Satyo.
“Ambang batas menciptakan polarisasi karena berpotensi selalu menghadirkan hanya dua pasangan calon dalam konteks pilpres bahkan tidak jarang cuma calon tunggal dalam pilkada,” pungkasnya.