DEMOKRASI.CO.ID - Judicial review ambang batas pencalonan presiden (presidential trasehold) yang diatur di dalam UU 7/2017 tentang Pemilu resmi digugat begawan ekonomi Indonesia, Dr. Rizal Ramli dan timnya ke Mahkamah Konstitusi.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut memaparkan alasannya mengajukan gugatan.
Dia mengungkapkan, peralihan sistem otoriter ke sistem yang demokratis pasca Presiden Soeharto jatuh, telah menjadi satu wujud yang bersifat kriminil di masa yang sekarang ini.
“Awalnya bagus (demokrasi), tapi makin ke sini makin dibikin banyak aturan yang mengubah demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal,” ujar sosok yang kerab disapa RR ini usai menyerahkan dokumen gugatannya di Kantor MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (4/9).
Secara sederhana, mantan Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) itu memberikan gambaran terkait demokrasi yang bersifat kriminil tersebut. Di mana, seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai Presiden harus menyiapkan mahar politik untuk mendapatkan dukungan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR partai politik, atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
“Bahasa sederhananya, kalau mau jadi bupati mesti nyewa partai, sewa partai itu antara Rp 30 sampai Rp 50 miliar. Ada yang mau jadi gubernur harus nyewa partai dari Rp 100 miliar sampai Rp 300 miliar. Presiden tarifnya lebih gila lagi,” ungkapnya.
Bahkan, RR mengaku pernah ditawari menjadi calon presiden oleh sejumlah partai politik pada tahun 2009. Saat itu, tawaran tersebut mengharuskan dia merogoh kocek hingga hampir Rp 1 triliun, jika ingin mendapat dukungan 20 persen dari partai politik.
“Saya 2009 pernah ditawarin. Mas Rizal dari kriteria apa pun lebih unggul dibandingkan yang lain. Kita partai mau dukung, tapi kita partai butuh uang untuk macam-macam,” katanya.
“Satu partai mintanya Rp 300 miliar. Tiga partai itu Rp 900 miliar. Nyaris satu triliun. Itu 2009, 2020 lebih tinggi lagi. Jadi yang terjadi ini demokrasi kriminal ini yang merusak Indonesia,” demikian RR.