DEMOKRASI.CO.ID - Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) menilai kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam penanganan krisis di masa pandemi COVID-19 tidak fokus dan berubah-ubah.
Menurutnya, hal itu disebabkan Presiden Jokowi berwawasan minim dan kebijakannya didasari masukan orang-orang terdekatnya yang sarat kepentingan.
"Jokowi itu punya kekuasaan besar. Dia saja yang tidak bisa memanfaatkan kekuasaannya untuk kebaikan kita bersama dan menyejahterakan rakyat karena memang saya mohon maaf enggak doyan baca," tutur Rizal dalam kanal Hersubeno di YouTube.
Rizal menambahkan, Jokowi memang membaca tetapi maksimal satu halaman. Ekonom senior itu lantas membeber kebiasaan para presiden sebelumnya dalam membaca.
"Semua pemimpin Indonesia dari generasi pergerakan mulai Bung Karno, Bung Hatta rajin baca semuanya. Kemudian BJ Habibie yang sangat haus dengan informasi," ujarnya.
"Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, red) sebelum matanya bermasalah bacanya luar biasa. SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, red) juga. Nah ini ketemu orang yang malas baca, kan repot jadinya," sambung Rizal.
Peraih gelar doktor ilmu ekonomi dari Universitas Boston itu juga menyinggung soal Soeharto. Rizal menyebut Presiden Kedua RI yang hanya tamatan sekolah dasar itu sangat doyan baca.
Rizal menuturkan, mantan Mensesneg Moerdiono pernah bercerita soal rutinitasnya membawa fail setebal sekitar 200 halaman untuk Pak Harto. Menyitat cerita Moerdiono tersebut, Rizal mengatakan bahwa Pak Harto setiap malam membaca berkas yang disodorkan para pembantunya di kabinet.
“Setiap malam dibaca Pak Harto, dikasih nota. Lanjutkan, periksa lagi, bandingkan, tanya sana sini dan sebagainya," tuturnya.
Oleh karena itu Rizal meragukan kemampuan Jokowi mengelola Indonesia yang luas dengan masalah kompleks tanpa kebiasaan membaca. Sebab, Jokowi sangat tergantung kepada orang-orang di sekitarnya.
“Mohon maaf ya, orang-orang di sekitar Jokowi itu banyak kepentingannya, bisnis dan lainnya. Jadi Presiden itu tidak dapat opsi alasan kenapa kebijakan itu harus diambil dan tidak diambil. Itu yang bikin repot dan imbasnya rakyat semuanya susah," tuturnya.[]
Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) menilai kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam penanganan krisis di masa pandemi COVID-19 tidak fokus dan berubah-ubah.
Menurutnya, hal itu disebabkan Presiden Jokowi berwawasan minim dan kebijakannya didasari masukan orang-orang terdekatnya yang sarat kepentingan.
"Jokowi itu punya kekuasaan besar. Dia saja yang tidak bisa memanfaatkan kekuasaannya untuk kebaikan kita bersama dan menyejahterakan rakyat karena memang saya mohon maaf enggak doyan baca," tutur Rizal dalam kanal Hersubeno di YouTube.
Rizal menambahkan, Jokowi memang membaca tetapi maksimal satu halaman. Ekonom senior itu lantas membeber kebiasaan para presiden sebelumnya dalam membaca.
"Semua pemimpin Indonesia dari generasi pergerakan mulai Bung Karno, Bung Hatta rajin baca semuanya. Kemudian BJ Habibie yang sangat haus dengan informasi," ujarnya.
"Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, red) sebelum matanya bermasalah bacanya luar biasa. SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, red) juga. Nah ini ketemu orang yang malas baca, kan repot jadinya," sambung Rizal.
Peraih gelar doktor ilmu ekonomi dari Universitas Boston itu juga menyinggung soal Soeharto. Rizal menyebut Presiden Kedua RI yang hanya tamatan sekolah dasar itu sangat doyan baca.
Rizal menuturkan, mantan Mensesneg Moerdiono pernah bercerita soal rutinitasnya membawa fail setebal sekitar 200 halaman untuk Pak Harto. Menyitat cerita Moerdiono tersebut, Rizal mengatakan bahwa Pak Harto setiap malam membaca berkas yang disodorkan para pembantunya di kabinet.
“Setiap malam dibaca Pak Harto, dikasih nota. Lanjutkan, periksa lagi, bandingkan, tanya sana sini dan sebagainya," tuturnya.
Oleh karena itu Rizal meragukan kemampuan Jokowi mengelola Indonesia yang luas dengan masalah kompleks tanpa kebiasaan membaca. Sebab, Jokowi sangat tergantung kepada orang-orang di sekitarnya.
“Mohon maaf ya, orang-orang di sekitar Jokowi itu banyak kepentingannya, bisnis dan lainnya. Jadi Presiden itu tidak dapat opsi alasan kenapa kebijakan itu harus diambil dan tidak diambil. Itu yang bikin repot dan imbasnya rakyat semuanya susah," tuturnya.[]