DEMOKRASI.CO.ID - Penggunaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang tidak pada tempatnya berpotensi menghancurkan bangsa menuju failed state atau negara yang gagal.
Demikian yang disampaikan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan saat menjadi narasumber dalam webinar bertema 'penataan BI, OJK dan LPS atasi resesi melalui Perppu, perlukah?'.
Menurut Anthony, merujuk pada Pasal 22 UU 1945, Perppu diperlukan apabila ada keadaan atau kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Karena undang-undang yang dimaksud belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena memerlukan waktu cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut memerlukan kepastian hukum untuk diselesaikan.
"Dalam konteks penataan BI, OJK, LPS saat ini, apa dan dari mana kegentingan yang memaksa?" jelasnya seperti yang disiarkan melalui akun YouTube Narasi Institut, Minggu (30/8).
Anthony melanjutkan, penetapan Perppu pun harus juga memperhatikan peran DPR untuk melakukan pengawasan yang ketat dalam menentukan adanya suatu keadaan kegentingan yang memaksa.
Menurutnya, dengan dikeluarkannya Perppu, undang-undang bidang ekonomi yang tadinya harmonis dapat menjadi kacau dan berpotensi melanggar undang-undang. "Selain itu, BI pun dikhawatirkan tidak lagi independen," lanjutnya.
Permasalahan yang terjadi di sektor keuangan kerap terjadi karena pengawasan yang lemah. Oleh karena itu Anthony pun meminta agar hal ini dapat dipertimbangkan lebih lanjut. (Rmol)