DEMOKRASI.CO.ID - Sejumlah massa berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta. Pengunjuk rasa menamai diri mereka sebagai Koalisi Selamatkan Pulau Pari.
“Tujuan kami, warga Pulau Pari datang ke kantor gubernur ini meminta perlindungan dan meminta kebijakan atas Pak Gubernur atas adanya kasus konflik lahan yang terjadi di Pulau Pari. Karena yang saya tahu warga Pulau Pari adalah sebagai warga Pak Gubernur. Tuntutan kami sebagai warga Pulau Pari agar Pak Gubernur bisa singgah dan datang ke pulau kami, agar bisa mengatasi kasus konflik lahan yang ada di Pulau Pari,” ujar Koordinator Lapangan (Korlap) Koalisi Selamatkan Pulau PariBuyung di depan Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (6/8/2020).
Pantauan detikcom di lokasi, massa yang berunjuk rasa turut membawa spanduk-spanduk berisi tuntutan Pedemo turut membawa miniatur perahu bertuliskan #savepulaupari.
Menurutnya, warga telah berkonflik lahan dengan suatu perusahaan sejak 1982 silam. Buyung mengatakan saat ini warga yang sudah puluhan tahun tinggal di Pulau Pari itu tidak memiliki sertifikat tanah.
Buyung menceritakan, pada 1992 silam, pihak kelurahan meminta sertifikat tanah warga. Ketika itu, kelurahan mengaku hendak melakukan pemutihan.
“Yang jelas warga Pulau Pari sudah lama tinggal di pulau tersebut, sudah tujuh generasi, yang jelas warga Pulau Pari yang menguasai lahan dan menguasai fisiknya. Kalau warga tidak memiliki sertifikat, yang jelas warga dulu pernah punya tapi diambil oleh pihak kelurahan dengan pengakuan akan adanya pemutihan yang dilakukan oleh kelurahan,” ucapnya.
Sementara itu, puluhan Sertifikat Hak Milik (SHM) di Pulau Pari sudah dimiliki atas nama perusahaan. Buyung mengklaim, dalam laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya Nomor 0314/LM/IV/2017 Jakarta tanggal 9 April 2017 disebutkan 62 SHM dan 14 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dari perusahaan-perusahaan di atas Pulau Pari sebagai praktek maladministrasi.