logo
×

Senin, 03 Agustus 2020

Miris, Media Asing: Gagal Tangani Wabah, Pemerintah Indonesia Sulit Sampaikan Pesan Berbasis Ilmu Pengetahuan

Miris, Media Asing: Gagal Tangani Wabah, Pemerintah Indonesia Sulit Sampaikan Pesan Berbasis Ilmu Pengetahuan

DEMOKRASI.CO.ID - Tulisan Richard C. Paddock yang dirilis oleh New York Times pada Jumat (31/7) tampaknya menggambarkan betapa mirisnya penanganan wabah Covid-19 di Indonesia.

Tulisan Paddock tersebut diberi judul "In Indonesia, False Virus Cures Pushed by Those Who Should Know Better" atau yang artinya lebih kurang "di Indonesia, pengobatan virus yang salah dipromosikan oleh mereka yang seharusnya memiliki pengetahuan lebih baik".

Judul tersebut seakan menjadi gambaran umum Indonesia di tengah pandemik. Saat ini, masyarakat Indonesia dibuat bingung dengan tingkah para pejabat dan influencer yang kerap mempromosikan pengobatan Covid-19 yang jauh dari sifat keilmiahan.

Ini menjadi miris mengingat penduduk Indonesia sangat beragam dan tidak semua dapat memilah informasi. Apalagi jika informasi-informasi salah tersebut justru disebarkan oleh orang-orang yang mereka anggap benar, seperti pejabat dan influencer.

Ada beberapa contoh yang diambil oleh Paddock. Pertama adalah Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang mempromosikan kalung eucalyptus yang diramu dari 700 spesies kayu putih. Kalung tersebut digadang-gadang bisa membunuh 80 persen partikel virus dalam setengah jam.

Meski begitu, klaim Mentan tersebut langsung disanggah oleh para ahli kesehatan, termasuk kepala laboratorium yang mengembangkan ramuan aromaterapik. Ia mengatakan, kalung tersebut tidak efektif menanganani virus corona.

Sayangnya, berbagai influencer ikut mempromosikannya. Seperti penyanyi Iis Dahlia yang mengatakan kepada 12 juta pengikut Instagram-nya bahwa ia merasa aman dengan mengenakan kalung tersebut.

Di Bali, Gubernur I Wayan Koster mendorong pengobatan menghirup uap arak, minuman alkohol tradisional. Tak lupa, ia juga tambahkan sedikit minyak kayu putih. Dalam sebuah konferensi pers, ia mengatakan, hampir 80 persen dari mereka yang menghirup ramuan itu diuji negatif lebih cepat daripada yang diharapkan. Walaupun belum diuji ilmiah, ia berharap Bali bisa mendapatkan hak paten dan memproduksinya.

I Wayan sendiri memiliki gelar Ph.D dalam pendidikan. Ia menggambarkan dirinya sebagai mantan "peneliti".

Di Lompok, Bupati Lombok Tengah Suhaili Fadhil Thohir mempromosikan penggunaan niqab atau cadar yang dikenakan oleh perempuan Islam, alih-alih masker.

"Keuntungan niqab adalah lebih mudah bernapas," kata Suhaili dalam sebuah wawancara.

Namun demikian, satgas Covid-19 Nusa Tenggara Barat tidak meng-iya-kan hal tersebut dan masih terus mempromosikan masker.

Fakta-fakta tersebut sangatlah miris. Para pejabat dan influencer yang seharusnya memberikan pemahaman berbasis ilmu pengetahuan kepada masyarakat awam justru menjerumuskan mereka ke dalam informasi yang salah.

Di tengah tekanan sosial-ekonomi disertai penanganan wabah yang tidak maksimal, para pejabat seakan kehilangan arah.

"Karena Indonesia terus kehilangan penanganan pandemik, pemerintah mengalami kesulitan untuk menyampaikan pesan berbasis ilmu pengetahuan yang konsisten tentang virus corona dan penyakit yang ditimbulkannya, Covid-19," tulis Paddock.

Pada Minggu (2/8), Indonesia mengonfirmasi 1.519 kasus baru Covid-19 dengan 43 kematian. Totalnya, Indonesia sudah mencatat lebih dari 111 ribu kasus dengan sebanyak 5.236 di antaranya meninggal dan 68.975 lainnya sudah sembuh.

Sebagai negara dengan populasi yang besar dan beragam, geografi yang luas dan bentuknya kepulauan, sulit memang bagi pemerintah untuk mengimplementasikan rencana yang jelas dan terpadu untuk memerangi virus.

Di tengah hambatan-hambatan tersebut, penanganan wabah justru diperburuk dengan serangan informasi palsu dan seringkali berbahaya. Sementara itu, masih banyak pula warga yang tidak peduli.

Bahkan, di provinsi-provinsi yang paling terdampak, Paddock mengatakan, 70 persen warganya pergi tanpa mengenakan masker dan mengabaikan jarak sosial. Mereka kerap berkerumun di toko, pasar, cafe, hingga restoran.

Pada awal wabah, menurut Paddock, Presiden Joko Widodo meremehkan pandemik. Ia baru mengakui keparahan Covid-19 pada Maret, ketika pemerintah mengonfirmasi kasus pertama.

"Setelah itu, secara lambat, ia menutup bisnis dan sekolah serta membatasi perjalanan, tetapi cepat untuk mengangkat pembatasan bahkan ketika kasus terus meningkat," sambungnya.

Ketika Indonesia masuk ke tahap new normal, ia mengancam akan memecat menteri kabinet karena tidak berbuat lebih banyak untuk mengendalikan pandemik.

"Dengan tidak adanya pesan terpadu dari pemerintah nasional, pejabat lokal dan oportunis telah mengisi kesenjangan," kata Paddock.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang saat ini fokus pada Palang Merah Indonesia (PMI) mengatakan, Indonesia memiliki kesalahan di awal wabah karena Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto meminimalkan keparahan.

"Sampai Maret, Menteri Terawan seperti Trump, mengatakan, 'Oh, ini hanya flu biasa,'. Tapi sekarang, Menteri Terawan sangat realistis. Para menteri dan gubernur berusaha mencari solusi dalam situasi yang tidak pasti. Ini adalah trial and error," ujarnya.

Entah apakah sebuah kabar baik atau bukan, namun bukan hanya di Indonesia informasi palsu disebarkan oleh para pejabat yang seharusnya memiliki pengetahuan yang lebih.

Di Kenya, Gubernur Nairobi telah mendorong penggunaan cognac untuk mengobati Covid-19. Di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump mempromosikan hydroxychloroquine, obat yang digunakan untuk mengobati malaria yang tidak terbukti efektif mengobati Covid-19.[rmol]
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: