DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah memerintahkan gereja Ortodoks kuno lainnya yang menjadi masjid dan kemudian jadi museum Istanbul yang populer, untuk diubah kembali menjadi tempat ibadah Muslim. Pemerintah Yunani mengecam keras keputusan Erdogan tersebut.
Keputusan untuk mengubah Museum Kariye menjadi masjid tersebut disampaikan hanya sebulan setelah perubahan kontroversial serupa untuk Hagia Sophia, yang diakui sebagai Warisan Dunia UNESCO. Langkah Erdogan tersebut telah menambah masalah Turki dengan para uskup di dunia Ortodoks dan Katolik.
Seperti dilansir kantor berita AFP, Sabtu (22/8/2020), Kementerian Luar Negeri Yunani menyebut keputusan itu sebagai “provokasi lain terhadap orang-orang beragama di manapun oleh pemerintah Turki”.
Gedung bersejarah Kariye yang berusia 1.000 tahun sangat mirip dengan Hagia Sophia, yang lebih besar dan lebih terkenal di Istanbul. Gedung itu awalnya diubah menjadi Masjid Kariye setengah abad setelah penaklukan Konstantinopel 1453 oleh Turki Ottoman.
Gedung itu kemudian menjadi Museum Kariye setelah Perang Dunia II saat Turki mendorong terciptanya republik baru yang lebih sekuler.
Sekelompok sejarawan seni Amerika kemudian membantu memulihkan mozaik gereja asli dan membukanya untuk umum pada 1958.
Tapi Erdogan menempatkan penekanan politik yang lebih besar pada pertempuran yang mengakibatkan kekalahan Bizantium oleh Ottoman. Pengadilan administrasi tertinggi Turki menyetujui konversi museum menjadi masjid pada November tahun lalu.
Itu adalah tempat yang kaya akan sejarah yang menyimpan banyak simbolisme bagi banyak orang yang berbeda,” kata turis Prancis berusia 48 tahun, Frederic Sicard, di luar gedung.
“Bagi saya, (konversi ini) agak sulit untuk dipahami dan diikuti. Tapi kami akan mengunjungi jika itu adalah masjid. Kami mungkin hanya perlu mengatur kunjungan sekitar waktu salat,” imbuhnya.
Anggota parlemen partai oposisi HDP, Garo Paylan menyebut transformasi itu “memalukan bagi negara kita”.
“Salah satu simbol identitas multikultural yang dalam dan sejarah multi-agama negara kita telah dikorbankan,” tulisnya di Twitter.
Sejarawan Kekaisaran Ottoman Zeynep Turkyilmaz menyebut perubahan itu “kehancuran” karena dinding bangunan dilapisi dengan karya seni Kristen yang harus ditutup atau diplester – seperti yang dilakukan oleh Ottoman.
“Tidak mungkin menyembunyikan lukisan dinding dan mozaik karena menghiasi seluruh bangunan,” kata sejarawan itu kepada AFP.
Namun beberapa warga setempat mendukung penuh perubahan tersebut.
“Ada lusinan, ratusan gereja, sinagog di Istanbul dan hanya beberapa yang dibuka untuk salat sebagai masjid,” kata seorang warga, Yucel Sahin. “Ada banyak toleransi dalam budaya kami,” imbuhnya.