DEMOKRASI.CO.ID - Sekelompok orang yang menamakan diri Solidaritas Masyarakat Papua melakukan aksi unjuk rasa selama empat hari di Kabupaten Merauke.
Aksi yang dilakukan pada tanggal 18 hingga 21 Agustus ini untuk menyatakan sikap menolak calon bupati non orang asli Papua yang ingin maju pada pilkada di Kabupaten Merauke.
Kordinator lapangan Solidaritas Masyarakat Papua, Dinosius Yebi mengatakan aksi tersebut tidak hanya dilakukan oleh pemuda yang berasal dari Suku Marind yang merupakan suku asli Kabupaten Merauke.
Namun, dalam aksi ini juga turut serta terlibat para pemuda dari beberapa kabupaten lain di wilayah selatan Papua, antara lain [emuda dari Kabupaten Asmat, pemuda dari Kabupaten Mappi, dan pemuda dari Kabupaten Boven Digoel.
Pada tanggal 3 Maret 2020 lalu, kata Yebi, juga pernah dilakukan aksi serupa guna meminta kepada pimpinan-pimpinan partai politik dari tingkat kabupaten, provinsi hingga pusat untuk memberikan Surat Keputusan (SK) atau Rekomendasi kepada putra-putri asli Papua atau asli Marind.
Bercermin dari tuntutan pada tanggal 3 Maret inilah, maka massa meminta agar para partai politik untuk menarik kembali surat Keputusan (SK) yang sudah diberikan kepada orang bukan asli Papua (Non OAP).
Yebi juga menegaskan, kepada pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Joko Widodo agar tidak melihat Merauke dengan sebelah mata.
“Papua bergabung dengan NKRI itu mulainya dari Merauke. Pandanglah Merauke dengan kedua mata,” ujar Yebi dilansir dari Kantor Berita RMOLPapua, Sabtu (22/8).
Dia pun meminta kepada Presiden Jokowi untuk meninjau kembali SK yang telah diberikan partai politik lepada bakal calon bupati non OAP di Selatan Papua.
Selain itu dirinya meminta kepada para pimpinan-pimpinan partai politik agar kiranya dalam kurun waktu dua minggu ini bisa melihat tuntutan yang mereka minta.
“Ir Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia lah yang telah memperjuangkan kami untuk masuk ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), jangan sampai situasi ini membuat kami memutuskan untuk keluar,” tegasnya.
Adapun tuntutan tersebut sejalan dengan UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dalam UU ini menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama dalam pemerintahan daerah.