Pandemi kali ini memang gila. Bukan saja dari jumlah kematian yang terkena virus yang tinggi, tapi juga dampak ekonomi globalnya luar biasa. Sampai sekarang ini sudah ada 22 negara yang terkena resesi. Enggak peduli itu mau negara maju atau negara berkembang, semua kena hantam, dan jungkir-balik menyelamatkan dirinya masing-masing.
Singapura saja sudah megap-megap, untung mereka negara kaya yang punya banyak cadangan kas sehingga masih bisa bertahan. Bayangkan dengan banyak negara miskin di Afrika sana, mereka bisa tidak tertolong karena ekonomi mereka berhenti, ekspor produk mereka enggak ada negara yang bisa beli.
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri kita juga sama, sama-sama ada di pinggir jurang resesi. Pertumbuhan ekonomi melambat, PHK sudah banyak di mana-mana, dan pabrik yang tidak mampu bertahan, mau tidak mau harus tutup sementara.
Untungnya, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia sesudah Amerika. Dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta orang, kita masih bisa bertahan dengan mengandalkan perdagangan di antara kita sendiri.
Masalahnya, resesi ekonomi kali ini jauh lebih buruk dari resesi tahun 1998 misalnya. Dulu, meski negara kita ekonominya hancur, para pedagang kecil yang sering disebut sebagai sektor informal itu, masih bisa dijadikan tulang punggung ekonomi untuk terus bertahan dan berjalan. Di resesi karena pandemi ini, merekapun sekarang kena. Sulit jualan, karena orang menahan diri untuk belanja. Meski anehnya, di sisi lain, penjualan sepeda laris-manis karena gaya hidup meningkat.
Indonesia ini memang unik. Negara kita mirip Desa Galia di komik Asterix, yang tetap saja sibuk dengan masalah dalam negeri, meski negara sekitar terkena resesi. Demi Toutatis!
Dan yang saya mau ketawa, banyak yang menyalahkan Ahok karena Pertamina rugi Rp 11 triliun di masa pandemi ini. Lah, urusannya Ahok apa? Dia kan komisaris yang tugasnya mengawasi direksi dan memberikan nasihat kepada mereka. Yang menggerakkan Pertamina ya direksinya, bukan komisarisnya.
Karena itu, untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia, Jokowi kemudian mengucurkan bantuan sosial lebih dari Rp 250 triliun ke masyarakat dalam bentuk PKH, Kartu Prakerja sampai subsidi listrik. Untuk apa dana sebesar itu? Tentu supaya ekonomi dalam negeri berputar lagi, kita bisa saling membeli dengan saudara sebangsa di dalam negeri. Dan ini sangat efektif untuk menjaga negara supaya tidak resesi.
Dampak resesi ini juga menghantam banyak perusahaan multinasional. Mereka rugi sampai triliunan rupiah, bahkan lebih besar.
Seperti Pertamina, misalnya. Pertamina di semester pertama tahun 2020 ini mengabarkan mereka rugi sampai Rp 11 triliun. Banyak amat ya. Rugi Pertamina ini karena mereka mengalami apa yang disebut sebagai triple shock. Yaitu rugi karena daya masyarakat melemah, juga karena harga minyak mentah yang seharusnya jadi pendapatan ikutan anjlok, dan terakhir karena selisih kurs yang besar.
Ketiga faktor itu ketika digabungkan memang mencatatkan kerugian yang sangat besar. Tapi Pertamina bukan satu-satunya perusahaan yang rugi. Energy Watch menyatakan banyak perusahaan migas kelas dunia yang juga rugi karena pandemi ini. Exxon mobil contohnya, rugi lebih dari Rp 15 triliun karena suplai mereka jauh lebih besar dari permintaan. Begitu juga British Petroleum yang lebih gila lagi ruginya. Mereka rugi hampir Rp 100 triliun. Chevron malah mencatat kerugian lebih dari Rp 120 triliun.
Melihat angka-angka kerugian perusahaan migas dunia itu, kerugian Pertamina jelas tidak ada apa-apanya. Tapi ributnya melebihi perang dunia kedua. Terutama dipicu oleh orang-orang yang buta bahwa pandemi ini adalah situasi luar biasa yang dialami seluruh dunia. Beda kalau misalnya Pertamina rugi karena salah kelola, atau karena korupsi di dalam internalnya, atau karena tidak mampu bersaing di dunia global.
Situasi pandemi ini kalau dalam perjanjian bisa disebut force majeur atau keadaan luar biasa di luar kehendak manusia, sama seperti ketika satu daerah terkena gempa besar atau tsunami.
Dan yang saya mau ketawa, banyak yang menyalahkan Ahok karena Pertamina rugi Rp 11 triliun di masa pandemi ini. Lah, urusannya Ahok apa? Dia kan komisaris yang tugasnya mengawasi direksi dan memberikan nasihat kepada mereka. Yang menggerakkan Pertamina ya direksinya, bukan komisarisnya. Lagian tadi sudah dijelaskan kalau yang rugi di masa pandemi ini bukan hanya Pertamina, tapi juga banyak perusahaan migas di seluruh dunia.
Lucu memang cara orang mencari kesalahan tanpa melihat data dan fakta, dan gambar yang lebih besar. Pokoknya ada celah sedikit saja, mereka akan sibuk menyerang membabi buta. Mungkin oposisi sekarang ini menganut peribahasa lama. Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga.
Denny Siregar
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi