DEMOKRASI.CO.ID - Pengamat politik Boni Hargens tak yakin Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) benar-benar menyuarakan aspirasi masyarakat.
Sebaliknya, Boni khawatir koalisi yang mengklaim diri sebagai gerakan sosial itu tak lebih dari sekedar broker politik.
Terlebih, aktor utama KAMI adalah orang-orang yang disebut Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) sebagai ‘para bekas’.
Yakni bekas politikus, bekas birokrat, bekas tokoh agama, bekas akademisi kampus.
Juga bekas aktivis yang sempat menikmati kekuasaan pada periode pemerintahan sebelumnya.
“Saya cemas jangan-jangan KAMI ini hanya kelompok broker politik ataupun pemburu rente, yang ingin mencari untung sesaat,” ujar Boni di Jakarta, Selasa (18/8/2020).
Boni beralasan, para deklarator dan momentum deklarasi adalah orang-orang yang dikenal publik karena kebiasaan mencibir pemerintah di media.
“Meski demikian, gerakan mereka tetap kita hargai sebagai bagian dari kebebasan demokratik,” ucapnya.
Boni menjelaskan, kehadiran broker politik dan pemburu rente dalam demokrasi elektoral, menjadi tradisi umum di negara yang demokrasinya belum begitu stabil.
Ia juga menyebut, lemahnya oposisi parlemen terhadap pemerintahan Presiden Jokowi, memungkinkan bangkitnya oposisi jalanan.
Dalam demokrasi yang sehat, oposisi jalanan biasanya dimainkan oleh kekuatan civil society dan benar-benar mencerminkan aspirasi publik.
Terutama aspirasi yang tak tersalurkan melalui mekanisme prosedural kekuasaan.
“Namun, dalam perspektif penilaian saya, KAMI ini oposisi jalanan yang terpisah dari masyarakat,” kata Boni.
Selain itu, para tokoh dan pendukung KAMI berasal dari kelompok ideologis yang pada Pilkada DKI 2017 ataupun Pemilu 2019 memainkan politik identitas.
“Jadi, sebagian kelompok pendukung KAMI adalah kelompok ideologis yang pada periode Pemilu 2019, termasuk Pilkada DKI Jakarta 2017 memainkan politik identitas,” ulasnya.
Boni menegaskan, kalau KAMI ikut mengamplifikasi politik identitas, gerakan itu berpotensi menjadi ancaman bagi ketahanan ideologi dan demokrasi Pancasila.
Alasan lain, KAMI muncul di tengah kesibukan pemerintah menangani wabah Covid-19.
“Gerakan mereka berpotensi menguras energi pemerintah dan berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan,” katanya.
Peraih gelar doktor filsafat politik dari Walden University, Minneapolis, Amerika Serikat ini menambahkan, KAMI juga bisa menjadi masalah tersendiri.
Itu terjadi jika ternyata ikut bermain dalam kampanye Pilkada Serentak 2020.
“Propaganda antipemerintah akan terus menjadi narasi politik yang dominan baik di tingkat lokal maupun nasional,” katanya.
Oleh karena itu Boni mengingatkan KAMI sebaiknya memberikan evaluasi dan kritik secara komprehensif.
Dalam bentuk kajian akademik yang memadai tentang kelemahan dan kekuatan pemerintah beserta kebijakannya.
“Namun sejauh ini ada kesan KAMI adalah barisan sakit hati yang sekadar ingin melawan pemerintah karena faktor dendam politik,” ulasnya.