DEMOKRASI.CO.ID - Seperti tahun-tahun sebelumnya, calon kepala daerah (cakada) yang diusung PDIP harus mengikuti sekolah partai sebelum bertarung di Pilkada serentak. Dalam siaran virtual, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, memberikan arahan khusus kepada 129 calon kepala daerah tersebut.
Dua di antaranya adalah kewajiban membaca buku-buku, khususnya karya Soekarno, dan mengikuti jejak karier Presiden Jokowi. Megawati menginginkan cakada yang diusungnya memiliki bekal saat terpilih sebagai pemimpin daerah.
1. Megawati Bangga 129 Calon Kepala Daerah PDIP Ada 7 yang S3, 9 Lulusan SMA
Megawati mengaku bangga dengan 7 cakada yang memiliki gelar doktor. Menurutnya, gelar itu merupakan kemajuan yang luar biasa dari PDI-Perjuangan.
“Dari total sebanyak 129 peserta, saya suruh tinjau dari aspek pendidikan. Sangat menggembirakan, karena 7 peserta berpendidikan S3, 44 perserta S2, 62 peserta S1, dan 6 orang D3 serta 9 orang SMA. Ini adalah kemajuan yang luar biasa dari PDI Perjuangan,” kata Megawati, Jumat (22/8).
Megawati menyebut, ketika PDIP masih bernama Partai Demokrasi Indonesia, para cakada datang dari kalangan berpendidikan rendah. Megawati juga menceritakan salah seorang anggota DPC yang berprofesi tukang becak.
“Saya pernah mempunyai seorang struktur DPC itu adalah tukang becak itu di Sumsel. Lalu banyak lagi, betul-betul datang dari rakyat yang praktis pendidikannya mungkin hanya sampai SMA, tapi mereka dapat merupakan pemimpin yang bisa diandalkan pada waktu itu,” tuturnya.
2. Wajibkan Calon Kepala Daerah PDIP Baca Buku Karya Sukarno
Megawati mewajibkan cakada menambah wawasan dengan membaca buku. Tujuannya, agar para calon kepala daerah dapat memahami kebutuhan masyarakat dengan baik.
Megawati mencontohkan buku karya Presiden Sukarno berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” yang seharusnya dibaca generasi muda. Buku itu mengingatkan tentang sejarah panjang Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan.
“Seperti buku Bendera Revolusi, tolong dikatakan ke anak muda, saya selalu katakan ke anak muda. Ada yang katakan ‘siapa itu Soekarno’, saya bilang ke dia, ‘kamu carilah ke perpustakaan’, dengan sinis dia bilang, ‘dia itu hanya orang biasa yang sebetulnya kebetulan sebagai presiden pertama’. Saya bilang ke dia, ‘itu namanya bodoh, kalau kamu mau jadi pintar, baca dulu perjuangan dia apa. Itu fakta sejarah,” sebutnya.
Megawati juga menyinggung buku lainnya, “Sarinah”, yang mengulas persoalan perempuan. Salah satu yang dibahas dalam buku itu adalah masalah KDRT.
“Kalian kan punya istri, tolong dilindungi dengan baik. Jangan ditempeleng, dipukul, ditampar. Itu yang harus diperhatikan. Belum lagi pidato lahirnya Pancasila supaya tahu kenapa Pancasila lahir, kalau ini pidato beliau (Sukarno) di PBB yang dapatkan applause standing ovation,” jelasnya.
3. Minta Calon Kepala Daerah Tiru Jokowi, dari Wali Kota Jadi Presiden
Megawati mengajak para cakada melihat kesuksesan karier politik Presiden Jokowi. Megawati menegaskan, Jokowi memulai karier dari wali kota, gubernur, hingga bisa menjadi presiden dua periode.
“Kita bisa melihat Bapak Ir Joko Widodo dengan diusung PDI Perjuangan, maka menjadi sebuah partai yang bisa mengangkat presidennya menjadi dua kali,” kata Megawati.
“Jadi jangan berkira kalau nantinya saudara-saudara yang telah menang, mulai keluar keangkuhan, kepongahan. Banyak saya lihat-lihat seperti itu terjadi. Tidak mau turun ke bawah. Ya, saya bilang ya terserah, nanti kita lihat apakah kalau mau mencalonkan lagi kedua kalinya itu kita akan calonkan,” bebernya.
4. Sedih Kalau Kader Diambil KPK
Megawati mengaku sedih jika ada kader PDIP yang ditangkap KPK. Padahal, kata dia, lembaga itu dibentuk olehnya.
“Saya sangat sedih kalau melihat dari kalangan PDI itu ada yang diambil oleh KPK, KPK itu saya yang buat, lho. Jangan lupa, lho. Kalau enggak percaya, lihat pembentukan KPK,” tutur Megawati.
Megawati menilai kebanyakan koruptor berasal kalangan elite, tak mungkin dari rakyat biasa. Atas dasar itulah, KPK ia sahkan.
“Kan kebanyakan, mana ada rakyat yang bisa korupsi, yang korupsi pasti kalangan elite, [makanya] saya mau teken untuk didirikannya KPK,” sebut Megawati.
Sebagai informasi, pembentukan lembaga antikorupsi mulai berjalan di era Presiden ke-3 RI, BJ Habibie. Habibie mencetuskan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN dan membentuk Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN).
Di era berikutnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meneken Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Lewat Tap MPR itu, Gus Dur mulai membentuk Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, hingga Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara.
Pada 27 Desember 2002, Presiden ke-5 RI, Megawati, menyetujui dan mengesahkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTK). Lembaga ini merupakan cikal bakal terbentuknya KPK setahun setelahnya, dengan UU yang dituntaskan di era Megawati.