Oleh: Syahganda Nainggolan
BERITA gempar dan hangat saat ini menghiasi berbagai media seputar perebutan warisan anak-anak Eka Tjipta Widjaja (Oei Ek Tjhong). Freddy Widjaya, anak dari istri ketiga, menggugat pembagian kekayaan sebesar Rp 600 triliun lebih. Bukan membagi rata pada jumlah anak, Freddy malah menuntut setengah dari kekayaan alm bapaknya itu diberikan kepada dia. Karena dia mewakili sebuah keluarga dalam poligami ayahnya.
Angka 600 triliun itu sangat menarik untuk dikaji. Darimana dan bagaimana sebuah keluarga mampu membentuk kekayaan sebesar itu dalam satu generasi?
Sebagaimana diinformasikan Wikipedia, Eka Tjipta adalah imigran China yang datang ke Indonesia pada umur 9 tahun. Tidak ada catatan keluarga mereka membawa serta kekayaan dari RRC ke Indonesia ketika berimgirasi.
Semua fortune atau kekayaan yang diperolehnya berasal dari kerja kerasnya di Indonesia. Bahkan, lebih spesifik lagi kekakayaan itu mulai berkonglomerasi pada zaman orde baru dan saat ini angkanya menjadi segunung itu.
Thomas Piketty, dalam bukunya 'Capital', memotret sejarah perkembangan orang orang kaya di Eropa sepanjang tahun 1810-2010. Umumnya kekayaan itu mempunyai sifat akumulasi dan percepatan karena adanya unsur warisan. Belum ada kasus kekayaan mahadahsyat dalam satu generasi saja.
Di Amerika, misalnya, fenomena orang-orang kaya konglomerat baru bermunculan satu atau dua dekade belakangan ini. Antara lain kita mengenal Bill Gates, Elon Musk dan Zuckerberg.
Amerika memang memberi peluang itu yang disebut American Dream. Namun, untuk konglomerasi, fenomena belakangan ini muncul karena inovasi dan teknologi. Bill Gates kaya karena Microsoft dan Zuckerberg kaya karena Facebook.
Orang-orang kaya biasa bisa saja muncul dari lotere atau judi. Namun, sangat sulit orang-orang kaya muncul karena penguasaan sumber daya alam. Pengaturan kepemilikan kekayaan bangsa Amerika sangat ketat dan transparan.
Di Indonesia pembahasan tentang konglomerasi dan kesenjangan sosial sudah banyak dilakukan. Hampir semua akumulasi kekayaan para konglomerat terkait dengan kekuasaan, baik kekuasaan di masa awal mereka berdagang, yakni masa Suharto maupun masa transisi ketika negara mengambil alih utang para konglomerat pada krisis ekonomi 98, sekitar 600 triliun, maupun kekayaan saat rezim pascareformasi.
Negara di masa Orde Baru dengan UU Kehutanan mengambil alih semua kekayaan yang sebelumnya diklaim adat sebagai milik masyarakat dan semua tanah-tanah yang tidak ada sejarah kepemilikan yang pasti.
Hutan-hutan ini kemudian diserahkan kepada segelintir pengusaha yang sekarang menjadi konglomerat untuk diambil kayunya lalu ditanami perkebunan. Negara mengatur agar pembiayaan diberikan bank bank kepada pengusaha-pengusaha itu.
Kekayaan di bawah hutan, seperti batubara, emas, timah, minyak bumi, gas dll, juga diserahkan kepada segelintir pengusaha untuk mereka kelola. Kadang kala pengelolaan dimulai oleh BUMN agar negara menanggung risiko awal pembiayaan (sunk cost or development cost), lalu perlahan-lahan dialihkan ke swasta atau tetap bekerjasama.
Ketika krisis ekonomi 98, negara memberikan pertolongan pada pengusaha agar mereka bangkit kembali dengan beban dipikul negara. Dan memang pengusaha-pengusaha itu bangkit lebih menggurita lagi saat setelahnya.
Derwin Periera, sebuah konsultan berbasis di Singapura, yang dianggap broker lobby rezim Jokowi ke White House, baru baru ini mengulas tentang situasi terkini yang cenderung belum berubah. Di mana kekuasaan masih tempat subur bagi munculnya kelompok bisnis baru mengakumulasi kekayaan.
Jadi sepanjang sejarah, kelihatannya negara adalah alat terbaik bagi pengusaha untuk menggandakan kekayaannya.
Negara dan Orang-orang Miskin
Di masa kpandemi saat ini, menurut OJK, sudah lebih dari 700 triliun rupiah restrukturisasi kredit terjadi. Namun menurut pengamat Indef, Tauhid Ahmad, beberapa hari lalu, jumlah UMKM hanya 13 persenan yang memiliki rekening atau artinya yang ikut restrukturisasi.
Dalam penjelasan ketimpangan stimulus antara pengusaha kaya dan kecil, Indef menilai orientasi pemerintah adalah menyelamatkan orang-orang kaya. Meskipun dari janji struktur alokasi kelihatannya cukup besar bagi UMKM, sejauh ini ketimpangan telah terjadi.
Nining Elitos, ketua serikat buruh Kasbi, dalam diskusi yang diselenggarakan Komnas Perempuan, beberapa hari lalu, mengatakan kaum buruh hanya menerima rata-rata penghasilan seperempat atau 25 persen saja selama dirumahkan.
Buruh hidup dalam kemiskinan dan kelaparan saat ini meskipun telah ikut membuat orang-orang kaya menjadi konglomerat. Bahkan, konglomerat ini bukan mengembalikan keuntungan untuk melindungi nasib buruh, malah meminta pertolongan paling depan dari pemerintah serta juga cepat-cepat mem-PHK. Menurut Nining, dalam diskusi itu, negara sudah tidak ada gunanya bagi rakyat miskin.
Negara memang coba hadir dengan bantuan sosial. Dalam 3 bulan pertama sejak diumumkan pandemik Covid-19 di Indonesia, rezim Jokowi memberi subsidi pada 10 juta keluarga orang-orang miskin, sebesar Rp 600 ribu per keluarga.
Namun, pada tahap selanjutnya, Juli sampai Desember, pemerintah memotong bantuan itu menjadi hanya Rp 300 ribu saja. Sebagian bansos itu berupa bahan pokok yang dibeli secara terpusat, sehingga tidak membuat warung-warung di sekitar penerima bansos menjadi semarak.
Angka 600 ribu rupiah itu adalah angka di pusat. Dalam bentuk sembako angka tersebut dapat berkurang karena dipotong biaya keuntungan pedagang sembako dan transportasi. Belum lagi ditingkat komunitas angka itu dapat mengecil, jika pak RT atau RW melihat ada masyarakat yang miskin namun belum menerima.
Sebagian sembako yang berisikan telur, diberitakan menjadi telur busuk ketika sampai di tangan rakyat miskin, karena sistem delivery yang memakan waktu.
Perlukah Negara?
Kontras rebutan waris Freddy Widjaja dan Kakak-kakak tirinya dengan seratusan juta rakyat menunggu bantuan sembako adalah potret nyata saat ini. Dari analisis SMERU, sebuah lembaga kajian ternama, terkait Covid-19 dan dampak terhadap 6 sektor usaha yang rentan, Juni 2020, hanya 20 persen pekerja yang mampu bertahan hidup dalam masa pandemi ini, dalam waktu lama.
Selebihnya, 40 persen kelimpungan di awal pandemik dan 40 persen lainnya kelimpungan di jangka waktu sedang. Analisis lembaga itu menyangkut nasib 72 juta jiwa dari sektor akomodasi dan food, warehousing dan transportasi, manufaktur, perdagangan, serta jasa lainnya.
Artinya ada 60 juta pekerja yang ambruk daya tahan ekonominya. Kadin sendiri masih memperkirakan 15 juta jiwa nasib buruh hancur selama pandemik. Namun, berapa pun perbedaannya, situasi ini adalah sebuah bencana besar alias Catastrophic.
Jika negara memang bekerja untuk memproduksi kesenjangan sosial dan memelihara tingkat kemiskinan dalam jumlah yang besar, maka pertanyaan "perlukah negara?" menjadi penting. Sebab, dalam masa peradaban kaum hunter alias pemburu maupun tahap awal peradaban bercocok tanam, manusia tidak memerlukan negara untuk membuat hidup mereka sama rata sama rasa.
Tapi mungkinkah manusia hidup tanpa negara? Apakah keadilan lebih mungkin terjadi tanpa negara? ini pertanyaan permulaan yang penting diketengahkan ketika bencana besar pandemik melanda kita.
Tantangan Sila Keadilan Sosial
Negara dengan sila kelima Pancasila yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah negara dalam cita-cita. Cita-cita ini adalah cita-cita mulia sebagai janji proklamasi.
Namun, sudah sedemikian lama cita-cita ini tetap sebagai cita-cita. Dan sebuah cita-cita yang tidak berujung biasanya dicurigai sebagai sebuah utopia. Utopia adalah mimpi. Ini adalah masalah bangsa kita.
Dalam masa pandemik ini, ketika dunia hancur dan Indonesia turut hancur di dalamnya, maka perlu kita merenungkan kembali apakah Sila Kelima Pancasila itu dapat diwujudkan, setidaknya mempunyai arah ke sana. Negara terarah ke sana. Itulah tantangan yang harus dijawab.
Sebab, jika negara berjalan tanpa arah keadilan sosial, dipastikan rakyatnya kehilangan kemanusiaan dan hidup kekurangan makna.
Penutup
Isu warisan keluarga Freddy Widjaja yang berkonflik dengan saudari tirinya merebut kekayaan Rp 600 triliun saat ini berbarengan dengan puluhan juta jiwa rakyat kita yang berharap hidupnya pada uang bansos 600 ribu rupiah.
Ini adalah potret buruk Sila Kelima Pancasila, Keadilan Sosial, yang kita hadapi. Sepanjang sejarah kita dan bahkan kini dalam situasi pandemik terus memburuk dan pemerintah kesannya terus lebih mengutamakan keselamatan orang-orang kaya.
Lalu kita bertanya perlukah kita mempunyai negara? Pertanyaan ini mempunyai legitimasi karena negara tanpa sila kelima Pancasila akan kehilangan makna.
Oleh karenanya, saat ini adalah saat yang tepat bagi kita merenungkan, masihkah cita-cita proklamasi kita kejar? Masihkah kita bisa menjadi masyarakat yang makmur tapi adil? Atau sebenarnya kita sudah gagal?
Semoga pandemik ini memberi kesempatan berubah. Berubah kiblatnya, berubah orientasi kepemimpinannya, dan berubah ke arah Sila Kelima Pancasila sesungguhnya. []