Penulis: Tony Rosyid
Baca pandangan dan sikap PBNU pada poin 8:
“Bahwa obsesi untuk menafsirkan Pancasila secara ekspansif akan menimbulkan ekses negatif berupa menguatnya kontrol negara dalam kehidupan masyarakat. Penguatan eksesif kelembagaan BPIP dapat melahirkan kembali BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamatan Pancasila) di zaman Orde Baru yang prakteknya menjadi alat sensor ideologi masyarakat.
Pancasila yang terlalu ambisius akan kehilangan roh sebagai ideologi pemersatu, yang pada gilirannya dapat menimbulkan benturan-benturan norma dalam masyarakat“.
Jelas, PBNU khawatir adanya BPIP justru pertama, akan menjadi lembaga kontrol atas nama pancasila dan negara terhadap kehidupan masyarakat. Ini berbahaya. Bisa jadi “Orba Gaya Baru” (OGB).
Kedua, BPIP berpotensi digunakan untuk menggebuk lawan-lawan politik pemerintah. Ketiga, hadirnya tafsir Pancasila ala BPIP bisa memicu kegaduhan dan konflik sosial baru.
Tanpa UU saja sudah bikin gaduh, apalagi jika ada UU-nya. Bisa makin gaduh. Inilah yang dikhawatirkan masyarakat. Kekhawatiran ini masuk akal melihat sejarah masa lalu BP7, dan gaya BPIP sekarang.
Poin No 8 dari pandangan dan sikap PBNU seolah menyuarakan pesan: bubarkan saja BPIP. Gak dibutuhkan! Hal ini juga jadi rekomendasi Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) V yang diselenggarakan MUI di Bangka Belitung. KUII ke V minta BPIP dibubarkan. Eh, sekarang mau dibuat RUU BPIP. Ngaco!
Ketika RUU HIP ditolak, lalu ganti nama RUU BPIP, ini menimbulkan sejumlah analisis. Pertama, pemerintah dan DPR dianggap gagal paham. Kenapa? Yang ditolak umat bukan “nama” atau “istilah” yang dipakai RUU. Bukan! Yang ditolak adalah keseluruhan yang meliputi proses, substansi, motif dan potensi konfliknya.
Kedua, perubahan nama dari RUU HIP ke RUU BPIP sengaja dibuat untuk menggeser isu komunisme ke isu otoritarianisme. Melekat pada RUU HIP stigma komunisme, sementara RUU BPIP lebih dipahami sebagai upaya pemerintah untuk memperkuat otoritarianismenya dalam menggunakan tafsir Pancasila untuk kepentingan kekuasaannya.
Nampaknya, analisis yang kedua lebih pas. Ada upaya menggeser isu komunisme. Sebab, isu komunisme dianggap lebih sensitif dari isu otoritarianisme. Selama ini, isu komunisme yang melekat pada RUU HIP telah mendorong gelombang protes umat Islam di berbagai daerah.
Apakah pergeseran isu ini akan berhasil? Bisa iya, bisa tidak. Bergantung konsistensi umat pada tuntutannya yaitu batalkan RUU HIP dan usut para inisiatornya? Tuntutan ini menjadi pokok utama dalam maklumat MUI.
Yang pasti, seiring dengan pergantian nama dari RUU HIP ke RUU BPIP, akan muncul narasi dan diskursus baru. Tidak saja narasi dan diskursus baru, tapi juga kekuatan lobi akan menjadi penentu apakah MUI, Ormas dan umat Islam konsisten pada tuntutannya. Atau sebaliknya, justru masuk angin. Kita lihat, apa yang akan terjadi.
Tapi, jika umat menuntut “bubarkan BPIP” sebagaimana yang tersirat dalam sikap PBNU dan rekomendasi Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) V, maka isu RUU HIP atau RUU BPIP akan terus mendapatkan energinya. (*)
Jakarta, 16 Juli 2020