DEMOKRASI.CO.ID - Keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono II melalui pemerintah Inggris, menuntut agar Inggris mengembalikan rampasan harta. Aset yang dimaksud merupakan harta yang dijarah Inggris pada tahun 1812.
Dikutip dari Tugu Jogja, Sekretaris Pengusul Pahlawan Nasional HB II, Fajar Bagoes Poetranto, mengatakan penjarahan materi tersebut berlangsung dalam satu periode yang dikenal dengan peristiwa Geger Sepehi.
Fajar mengatakan, dari informasi yang dia peroleh, jumlah total emas yang dirampas Inggris pada peristiwa tersebut mencapai 57.000 ton.
"Kami meminta agar emas tersebut dikembalikan kepada pihak Keraton atau para keturunan dari Sinuwun Sri Sultan Hamengkubuwono II," kata Fajar dalam keterangan tertulis, Sabtu (25/7).
Jika emas 57.000 ton itu dikembalikan, berapa harganya sekarang?
Jika dikonversi ke gram, 57.000 ton emas setara dengan 57 miliar gram. Berdasarkan situs Logam Mulia milik PT Antam Tbk (Persero), harga emas batangan terbaru per Jumat (24/7) mencapai Rp 989.000 per gram.
Itu artinya, jika 57 miliar gram dikalikan Rp 989.000, jumlah harta yang harus dikembalikan Inggris ke trah Sri Sultan Hamengku Buwono II mencapai Rp 56,4 ribu triliun.
Sebelumnya diberitakan, Fajar sebagai perwakilan kerajaan berharap harta dan benda bersejarah yang dijarah tentara Inggris pada Perang Sepehi tahun 1812 untuk dikembalikan.
Barang-barang tersebut merupakan salah satu bagian dari milik Keraton Yogyakarta di masa Raja Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Mengutip laman resmi Keraton Jogja, dahulu kerajaan memang pernah mengalami masa penjarahan oleh pemerintah Inggris. Dampak sari gelombang revolusi industri yang terjadi antara 1802 hingga 1812 dirasakan di banyak daerah berupa perang berkecamuk. Salah satunya di Yogyakarta.
Hingga akhirnya di pada 4 Agustus 1811, tentara Inggris menyerbu Batavia dan berakhir Jawa jatuh ke tangan Inggris. Di bawah kepemimpinan Raffles, rupanya tak juga jauh berbeda dengan masa ketika pendudukan Belanda di bawah Daendels. Sultan Hamengku Buwono II yang kala itu memimpin Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, tak setuju dengan kebijakan Raffles.
Rentetan perang terjadi antara Juni 1811 hingga puncaknya pada 20 Juni 1812. Tentara Inggris bahkan menembakkan meriam ke arah keraton Yogyakarta.
"Ribuan naskah dari perpustakaan keraton dijarah. Raffles kemudian memanfaatkan pengetahuan dan wawasan Pangeran Natakusuma di bidang sastra untuk memilah dan menginventarisir naskah naskah tersebut sebelum dibawa ke Inggris," tulis laman itu. []