DEMOKRASI.CO.ID - -Isu politik dinasti makin santer diperbincangkan publik belakangan ini menyusul pencalonan anak sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka pada Pilkada Solo 9 Desember mendatang.
Direktur Visi Indonesia Strategis, Abdul Hamid menilai, wajar jika isu dinasti politik makin menggema. Pasalnya, kekhawatiran publik soal upaya penguasa melanggengkan kekuasaannya semakin dipertontonkan.
"Dinasti politik sangat rawan terjadinya penyimpangan kekuasaan," kata Abdul Hamid kepada Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu, Senin (20/7).
Adul Hamid lantas mencontohkan praktik penyelewengan kekuasaan akibat dinasti politik. Baru-baru ini Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur, yang terciduk operasi tangkap tangan (OTT) KPK beberapa waktu lalu adalah contoh yang nyata.
"Bupati Kutai Timur dan Ketua DPRD yang notabene istrinya sendiri. Kasus Kutim adalah bukti nyata dan aktual terkait bahaya dinasti politik," tegasnya.
Meski demikian, pengamat politik ini menilai, dinasti politik ibarat buah simalakama.
"Secara legal formal syah secara UU. Terutama saat MK membatalkan UU terkait dinasti politik karena pertimbangan HAM. Tapi di sisi lain, secara moral ya menjadi kurang etis," kata Abdul Hamid.
"Dan etika dalam politik inilah yang dewasa ini digerus oleh syahwat kekuasaan," imbuh dia.
Lebih lanjut, Abdul Hamid menyatakan bahwa pencalonan Gibran Rakabuming di Pilwalkot Solo merupakan bentuk nyata dari praktik buruknya etika politik yang syarat dengan politik dinasti.
"Kasus Gibran adalah contoh nyata terabaikannya etika politik dan mengedepankan syahwat politik yakni melanggengkan kekuasaan Jokowi," pungkasnya.(rmol)