DEMOKRASI.CO.ID - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah menyoroti pemerahan presiden Jokowi pada saat Sidang Kabinet Paripurna pada 18 Juni 2020.
Menurutnya, Jokowi marah disebabkan kekacauan yang terjadi di lingkaran istana kepresidenan atas tidak sinkronnya kinerja para menteri. Bahkan, kekacauan di sekitar istana sudah terjadi sejak dulu mulai periode pertama Jokowi menjabat sebagai kepala negara. Hal tersebut dibuktikan dengan Inpres Anti Gaduh Nomor 2 Tahun 2017.
Hal itu disampaikan Fahri Hamzah ketika menjadi narasumber Indonesia Lawyers Club yang dikutip pada Rabu, 1 Juli 2020.
“Inpres dibuat oleh Presiden karena sering antara menteri berantam, lalu dibuatlah Inpres Anti Gaduh. Gaduh ini terus terjadi, sampai kemarin mudik gaduh juga antara menteri beda pendapat, menteri-menteri buat kebijakan sendiri,” kata Fahri sebagaimana dikutip dari Viva.co.id (2/7/2020).
Fahri menegaskan, dirinya pernah mengingatkan Presiden Jokowi untuk memiliki dapur kabinet yang kuat. Yakni, Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet dan Kantor Staf Presiden. menurutnya, dapur tersebut harus bisa menyajikan data valid untuk Presiden Jokowi.
“Presiden tidak boleh enggak punya data yang benar. Data Presiden itu mesti valid. Presiden tidak boleh salah, tapi tidak boleh nampak salah. Presiden itu harus tajam, presisi, kuat, tidak ada orang yang bisa bantah data-datanya. Masa kabinet datanya beda-beda. Karena itu, dapur harus kuat,” urainya.
Namun demikian, Fahri mengatakan, siapapun yang akan membantah presiden harus didasarkan pada data-data yang akurat. Sayangnya, justru data yang disampaikan presiden Jokowi malah dibantah berulang kali plus terjadi banyak pertengkaran dalam kabinet terkait kesalahan data tersebut.
“Dalam COVID-19 ini banyak sekali perbedaan-perbedaan, termasuk data Bung Arya (Juru Bicara Kementerian BUMN, Arya Sinulingga) mengatakan tidak ada masalah. Tapi Bu Risma (Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini) nangis sujud-sujud, itu masalah. Jadi jangan dianggap tidak ada masalah,” jelas Fahri.
Mantan Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 ini juga memberikan contoh lain terkait kebijakan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Dia mendesak menteri terawan untuk segera mencairkan insentif untuk para dokter dan tenaga medis dalam rangka percepatan penanganan COVID-19. Pasalnya, hanya 1,53% dana yang berhasil tersalurkan dari total anggaran sekitar Rp 75 triliun.
“Namun, Pimpinan Komisi IX DPR mengkritik Presiden karena salah menilai Menteri Kesehatan. Mereka mengatakan angka Presiden salah. Baru sehari mengeluarkan data, besoknya dibantah orang. Yang bantah anggota DPR, yang tahu persis berapa anggaran Kementerian Kesehatan. Jadi data dari siapa?,” Urai Fahri.[viva/brz/nu]