DEMOKRASI.CO.ID - Ambang batas pencalonan kepala daerah maupun presiden nyata menjadi momok bagi negeri ini. Berkali-kali tokoh senior, DR. Rizal Ramli menyebut threshold adalah cikal bakal dari demokrasi kriminal di negeri ini.
Bukti konkretnya, kata Rizal Ramli, adalah kasus yang menjerat Bupati Kutai Timur (Kutim) Ismunandar bersama sang istri yang merupakan ketua DPRD. Di mana sang bupati mencari modal untuk maju lagi di pilkada, sekalipun upeti itu berbuntut pada kerugian negara yang berkali lipat.
“Sang bupati dan istri ketua DPRD, terima sogokan Rp 18 M, untuk upeti jadi calon bupati lagi. Dia berikan konsesi SDA kepada cukongnya, kerugian negara sekitar Rp 2 trilliun!” tekannya dalam akun Twitter pribadi, Senin (20/7).
Rizal Ramli tegas menjelaskan bahwa dalam sistem demokrasi kriminal, keberadaan threshold nyata-nyata jadi “sekrup pemerasan”.
Setidaknya kabar beredar bahwa untuk mendapatkan batasan itu dibutuhkan gelontoran dana yang tidak sedikit. Untuk jadi calon bupati disebut menghabiskan dana Rp 20 hingga 60 miliar, gubernur Rp 100 hingga 500 miliar, sedangkan capres sebesar Rp 1 hingga 1,5 trilliun.
“Kerugian negaranya ratusan triliun, lihat kasus Kaltim. Inilah akar dari korupsi politik,” tegasnya.
Dia mengurai bahwa dalam iklim demokrasi kriminial ini, calon akan dipilih oleh para cukong. Mereka akan memuluskan langkah para calon untuk membiayai upeti pemerasan yang ditetapkan partai.
Baru setelah resmi jadi calon, mereka ikut kompetisi dan kemudian dipilih rakyat lewat pemilu
Jadi tidak aneh setelah terpilih, bupati-bupati, gubernur-gubernur dan presiden mengabdi kepada cukong-cukong, bukan rakyat,” tutupnya.(rmol)