DEMOKRASI.CO.ID - Oleh: Arief Gunawan
KALAU perusahaan-perusahaan multinasional saat ini dianggap merupakan “para tentara baru” yang menaklukkan negara lain yang lemah dan mudah dibodohi, maka hal tersebut sebenarnya merupakan pengulangan sejarah dari apa yang pernah dialami oleh rakyat negeri ini pada masa VOC.
VOC, pada abad ke 17, adalah perusahaan dagang multinasional milik Belanda, yang pada masanya bersaing dengan perusahaan multinasional, seperti EIC, milik Inggris, yang merampok kekayaan alam Nusantara berupa rempah-rempah.
Bertahannya penjajahan Belanda di Nusantara selama ratusan tahun terutama bukan karena dilakukan dengan cara-cara militer, tetapi melalui konsesi atau perjanjian-perjanjian dengan elite penguasa pribumi, seperti raja atau pangeran.
Hampir semua hak, wilayah, dan kekuasaan VOC didapat berdasarkan kontrak. Seperti misalnya dilakukan oleh Amangkurat II dengan menggadaikan sejumlah pelabuhan di wilayah Pantura sebagai barter supaya mendapat dukungan Belanda.
Atau Perjanjian Ponorogo (1743) antara Paku Buwono II dengan VOC, dimana seluruh pesisir Mataram diserahkan kepada VOC dan rakyat Jawa dilarang membuat perahu yang mengikis jiwa bahari masyarakat Jawa.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa VOC selalu memihak kepada penguasa boneka yang bisa diatur.
Belanda juga memanfaatkan konflik antar-elite pribumi yang saling bertikai dalam persoalan takhta dan suksesi.
Mataram dipecah dalam Perjanjian Giyanti (1755). Menjadi Paku Buwono di Surakarta (Solo), dan Hamengku Buwono di Jogja.
Kerajaan-kerajaan di Timur Indonesia diadudomba, dan seterusnya. Bahkan lebih ganas mereka melakukan genosida terhadap penduduk Kepulauan Banda, Maluku, untuk menguasai rempah-rempah.
Itulah sebabnya kolonialisme Belanda bercokol ratusan tahun, sehingga dikatakan mencapai 350 tahun. Meski hingga awal abad 20 masih banyak kerajaan di Nusantara yang berdaulat. Tidak bisa ditaklukkan.
Bali misalnya, baru dapat dikuasai oleh Belanda pada tahun 1910. Ternate tahun 1923. Ruteng 1928, Toraja 1910. Sedangkan Sulawesi Selatan baru bisa ditaklukkan pada 1905.
Di masa rezim Hindia Belanda, KNIL juga jadi alat pemecah belah. Belanda merekrut bumiputera dari daerah-daerah tertentu untuk memerangi bumiputera di wilayah lain di Nusantara. Sehingga memunculkan stigma kebencian antar-suku.
Di Sumatera Barat kaum adat dan kaum ulama dihasut. Sehingga berkobar Perang Padri yang lalu melahirkan kesadaran “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”.
Sehingga: “raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah”.
Waktu politik etis diberlakukan setelah 300 tahun menjajah, pemecahbelahan (devide et impera) juga dilakukan. Belanda mempersiapkan kaum priyayi feodal untuk meneruskan administrasi/birokrasi kolonial, dengan mendirikan OSVIA, sekolah pangreh praja (calon pegawai negeri kolonial).
Seandainya tidak ada Revolusi 1945 yang menghasilkan kemerdekaan, merekalah yang akan menjadi perpanjangan-tangan kekuasaan Belanda di negeri ini.
Selain melakukan cara-cara memecah-belah, feodalisme juga mengawetkan penjajahan.
Feodalisme bapak kandung nepotisme yang memudahkan Belanda mengontrol kekuasaan. Itulah sebabnya jabatan bupati misalnya dipegang secara turun temurun berdasarkan silsilah dan atas restu penguasa kolonial.
Para tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia umumnya adalah para penghayat sejarah. Pemahaman terhadap sejarah menjadi salah satu basis perjuangan mereka dalam memahami nasib bangsa. Mereka kemudian menjadi pembuat sejarah agar bangsa ini tidak terjerat ke dalam siklus yang sama, yaitu penjajahan yang telah mencapai ratusan tahun itu.
Kalau waktu itu Soekarno pernah berkata Jangan Sekali-Sekali Meninggalkan Sejarah (Jas Merah), tokoh bangsa Dr Rizal Ramli hari ini mengingatkan kita bahwa yang tidak kalah penting adalah saat ini kita harus membuat sejarah.
Masa depan bangsa sangat penting, dan masa depan terbaik adalah jika kita ikut menciptakannya. []