DEMOKRASI.CO.ID - Beberapa isu yang beredar akhir-akhir ini, menggelitik isi kepala seorang Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas. Dari lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan dan koruptor, hingga pemberangusan ruang-ruang berpendapat. Semua itu membuatnya sampai pada kesimpulan: Indonesia memiliki tanda-tanda menjadi sebuah negara komedi.
Feri Amsari begitu populer di kalangan pergerakan mahasiswa, terutama mahasiswa hukum. Dia menjadi salah satu inisiator pergerakan mahasiswa di Sumatera Barat untuk menolak revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena aksinya itu, dia sempat dipanggil Polda Sumatera Barat.
Di tingkat nasional, Feri merupakan tokoh intelektual yang didengar oleh pemerintah terkait rencana revisi UU KPK. Dia menjadi salah satu dari puluhan tokoh yang diundang oleh Presiden Joko Widodo ke istana pada September 2019 lalu.
Namanya kian viral saat terlibat debat panas dengan anggota DPR RI Arteria Dahlan, dalam salah satu program di televisi swasta. Feri dicecar karena begitu getol menolak revisi UU KPK.
Feri Amsari lahir di Padang, 2 Oktober 1980. Dia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di sebuah kota kecil, Muara Bungo, Jambi. Sejak kecil terbiasa hidup sendiri karena kerap ditinggal orang tuanya yang harus dinas ke luar kota.
Setamat dari sekolah menengah atas, Feri bercita-cita ingin menjadi seorang arsitek. Namun karena keterbatasan kemampuan ekonomi keluarga, dia memutuskan untuk mengambil jurusan teknik sipil. Sayangnya, dia tidak lolos dalam ujian masuk perguruan tinggi.
“Yang keterima malah pilihan ketiga, jurusan hukum di Unand (Universitas Andalas). Saya berniat untuk mencoba lagi tahun berikutnya,” cerita Feri.
Di awal perkuliahan tahun 1999, Feri jatuh cinta pada ilmu hukum pidana. Salah seorang dosen hukum pidana berhasil mengubah haluan Feri, dari keinginan menjadi sarjana teknik menjadi ahli hukum.
Namun, pada tahun kedua, Feri kembali mengubah konsentrasinya dengan memilih hukum tata negara. Dia masih ingat betul bagaimana Ilhamdi Taufik, soko guru hukum tata negara Unand yang juga mertua Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra, menerangkan betapa menariknya kajian tata negara.
“Hukum tata negara membicarakan bagaimana politik bekerja, bagaimana politisi itu seharusnya bertingkah agar tatanan negara ini benar. Ilmu hukum tatanegara itu menarik karena bisa dilihat perkembangannya di media massa,” kata Feri.
Feri melanjutkan, terlebih lagi saat itu di awal reformasi, perdebatan tentang kajian tata negara sedang berada di puncak. Dia akrab dengan perdebatan dari tokoh-tokok seperti Jimly Asshiddiqie, Yusril Ihza Mahendra, Ismail Suny, Harun Al-Rasyid, hingga Saldi Isra muda.
“Saya juga bertemu dengan Refly Harun, Denny Indrayana, dan Irman Putra Sidin. Mereka adalah tokoh-tokoh muda yang gemar menuangkan hasil bacaannya,” ucap Feri.
Setelah mendapat gelar sarjana hukum pada 2004, Feri melanjutkan studi magister di fakultas yang sama, lalu meneruskan program magister di William and Mary Law School, Virginia, Amerika Serikat.
Selain mengajar, Feri Amsari aktif dalam berbagai penelitian tentang kajian hukum tata negara di Pusako. Dia juga aktif menulis beberapa buku, salah satunya berjudul Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Bagi Feri, Indonesia saat ini masih membutuhkan sosok pemimpin yang bisa menjadi panutan dalam menjalankan penegakan hukum dan menjunjung tinggi asa-asas demokrasi. Kondisi penegakan hukum, politik, dan demokrasi Indonesia saat ini, tidak sedang baik-baik saja. Menurut dia, sejak reformasi 1998, iklim demokrasi di Indonesia bahkan cenderung menurun. Mencapai puncaknya saat beberapa aktivis kebebasan berekspresi mulai digembosi dan dikriminalisasi.
Menelusuri lebih jauh pemikirannya mengenai situasi negara saat ini khususnya masalah penegakan hukum, berikut perbincangan law-justice.co bersama Feri yang dilakukan beberapa waktu lalu:
Kenapa kondisi hukum, politik, dan demokrasi kita semakin hari semakin tidak menentu?
Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia mundur jauh ke belakang. Walaupun Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, tapi tidak serta-merta ada perwujudannya. Banyak indikator untuk menilai, apakah sebuah negara hukum itu berjalan dengan baik atau tidak. Dari apa yang terjadi belakangan, sepertinya Indonesia betul-betul sudah keluar dari jalur tersebut.
Pertama, soal perlindungan HAM. Faktanya, di banyak perkara perlindungan HAM itu menjadi hilang. Kalau tidak boleh mengatakan itu telah tiada. Dia dulu ada, lalu sekarang menghilang.
Misalnya, soal kebebasan menyampaikan pendapat bisa dilihat dari berbagai peristiwa seperti kasus Ravio Patra, Ananda Badudu dan kawan-kawan Papua. Belakangan ada kasus BEM UGM dan BEM UI. Terakhir, soal warga negara yang menggunakan lelucon Gus Dur.
Ada banyak contoh lain, bagaimana perlindungan HAM yang dulu berupaya dihidupkan sepanjang era reformasi, menjadi hilang saat rezim Joko Widodo berkuasa. Itu menjadi alarm untuk segera bangun dan berhati-hati bahwa pemerintahan saat ini bisa saja terpeleset lebih jauh dan meninggalkan gagasan negara hukum.
Kedua, kekuatan kehakiman yang mandiri menjadi elemen penting dalam sebuah negara hukum. Sistem peradilan itu harus harus mandiri, merdeka, dan bebas dari intervensi kekuasaan atau kejahatan.
Apa yang terjadi dalam kasus Novel Baswedan menurut saya adalah gambaran bagaimana sistem kekuasaan kehakiman kita, dari tingkat paling bawah hingga ke peradilan, sudah mengalami karut marut yang luar biasa. Kasus yang luar biasa besar, penyelesaiannya berlarut-larut. Kemudian muncul tuntutan satu tahun penjara terhadap pelaku, menurut saya lebih mirip komedi. Itu semacam hinaan bukan, hanya kepada Novel, tapi juga kepada logika publik. Pengadilan itu telah kehilangan marwah.
Artinya, nilai-nilai di negara hukum itu dirusak, berubah menjadi negara komedi. Banyak komika menjadikan situasi ini sebagai bahan lelucon dan membuat publik tertawa. Tapi sekarang, komedian pun bisa kena jerat hukum.
Hanya pemerintahan otoriter yang merasa terhina saat melihat rakyatnya tertawa. Itu sudah kajian lama. Rakyat tertawa karena tidak bisa lagi melakukan apa-apa, dan kini tertawa pun dilarang.
Bagi saya, memang dalam konteks tertentu negara hukum kita sudah menjadi negara komedi. Apa yang terjadi bisa jadi bahan tertawaan, tapi pemerintah kita bisa sebegitu serius merespon itu, sehingga komedi bisa diarahkan ke hukum pidana.
Sejak kapan kondisi ini terjadi?
Kerusakan terhadap nilai-nilai demokrasi itu sebetulnya sudah berlangsung sejak lama. Upaya partai politik untuk mengembalikan pemerintahan yang berkuasa ini ke arah rezim yang tertinggal, sudah dilangsungkan satu hari sejak refromasi dikumandangkan.
Tapi belakangan ini semakin intens dan semakin kuat. Sudah ada tahapan-tahapan degradasi terhadap nilai-nilai itu. Kita sebetulnya sudah bisa melihat sejak periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi. Kemudian saat ini, di periode kedua, ada semacam kutukan untuk meninggalkan kepentingan konstituennya dan mengabaikan kepentingan publik. Hal-hal seperti itu sudah ada di teori negara demokrasi.
Siapa sebetulnya aktor-aktor yang paling mempengaruhi kondisi saat ini?
Saya selalu percaya, aktor-aktornya selalu sama. Kelompok Parpol yang tidak siap dengan nilai-nilai demokratis yang lebih baik, sehingga berusaha mengembalikan kondisi kita kepada konsep-konsep lama.
Selain itu, tentu saja ada para pemodal yang tidak nyaman dengan perubahan-perunahan yang terjadi karena bisnis-bisnis kotor itu akan digilas oleh sistem demokrasi, dimana semua orang berhak untuk sejahtera.
Politisi dan pemilik modal ini didukung oleh mafia hukum yang jumlahnya tersebar dan mempengaruhi proses penegakan hukum kita.
Jadi selalu ada triumvirat yang merusak tatanan demokrasi kita saat ini. Itu sudah berlangsung sangat lama dan kian menguat akhir-akhir ini. Kekuatan mereka akan semakin dominan saat tekanan publik kian melemah.
Kenapa para politisi bisa sebegitu kuat mempengaruhi hukum dan kebijakan negara? Tidakkah harusnya ada sistem yang menjadi sekat?
Itu lingkaran setan yang gagal diputus mata rantainya ketika awal reformasi. Reformasi kita itu tanggung dan tidak tuntas dalam berbenah. Sementara alat-alat reformasi kita banyak yang berkhianat. Saya pikir itu memang menjadi pangkalnya, bahwa reformasi kita ini serba nanggung.
Di sisi lain, kita tidak punya tokoh yang mampu memimpin perubahan ke arah yang lebih baik. Saya percaya, ketokohan pemimpin mampu mengarahkan negara demokrasi agar lebih baik. Kita itu memiliki banyak sekali dendam politik, karena memang demokrasi tidak dibangun secara matang.
Kekuatan rakyat saat ini mendapat tantangan baru dengan adanya buzzer. Bagaimana seharusnya sikap masyarakat?
Buzzer itu salah satu efek negatif dari suara publik yang tersalurkan di media sosial. Itu adalah konsekuensi teknologi digital. Para pemilik akun-akun buzzer itu melihat ada peluang bisnis, sehingga mereka menjadi pelaku penyimpangan di media sosial. Teknologi digital memang seperti pisau bermata dua.
Efek positifnya tentu suara publik saat ini mudah tersalurkan. Ada petisi yang bisa ditandatangani oleh ribuan orang secara daring. Dalam kasus komika Bintang Emon misalnya, buzzer menyerang, publik membela.
Sebagaimana demokrasi di dunia nyata, ada kelompok baik dan kelompok jahat. Tentu para buzzer ini harus dihadapi. Tingkat pendidikan dan kesadaran politik kita mesti dibangun lebih dalam lagi agar kelompok buzzer yang berdagang ini bisa terkalahkan dengan sendirinya.[ljs]