Penulis: M Rizal Fadillah
Ini sekedar iseng dan analisa “gampangan” saja soal PDIP sebagai “the rulling party”. Sebutan “the rulling party” juga agak setengah hati karena fakta politiknya antara Jokowi sebagai Presiden dengan PDIP itu nampaknya belum merupakan satu kesatuan yang utuh. Megawati perlu membuat pernyataan untuk meyakinkan diri dan orang lain bahwa Jokowi adalah “petugas partai”.
Bahwa Jokowi menjadi Presiden itu mendapat dukungan penuh dari PDIP tidaklah diragukan akan tetapi dalam hal status Jokowi sebagai “kader” PDIP tentu banyak yang meragukan. Lebih kental pada kesamaan kepentingan yang bersimbiosis mutualisme.
Dalam perjalanannya, kepentingan masing-masing menjadi takaran dari kontribusi dan peran. Kadang-kadang mesti terlebih dahulu dinegoisasi atau mungkin “diintimidasi”.
Berbeda dengan pada saat Soeharto berkuasa, “the rulling party” adalah Golkar. Soeharto menjadi pengendali dan penentu Golkar. Kepentingan keduanya bersatu. Golkar sulit untuk digoyang karena hal itu sama saja dengan menggoyang Presiden. Demikian juga sebaliknya.
Kini PDIP berada di simpang jalan. Salah satunya karena “terkunci” oleh persoalan pengajuan RUU HIP. Saat PDIP mati matian berjuang menghadapi gempuran publik, Jokowi sebagai “petugas partai” tetap saja santai dan meliuk-liuk berkelit. “Ini (RUU HIP) 100 persen adalah inisiatif dari DPR, jadi Pemerintah tidak ikut campur sama sekali”, kilahnya.
Secara normatif “tidak ikut campur” mungkin benar, tetapi sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di DPR itu berhimpun partai-partai koalisi yang mendukung Presiden. Presiden layak untuk mampu “mengkoordinasikan” partai-partai koalisi pendukung. Jadi benarkah “sama sekali” tidak ikut campur? Bukankah RUU tersebut ada relevansinya dengan BPIP yang tak lain adalah badan buatan Presiden sendiri?
Pernyataan normatif berdampak politis khususnya bagi PDIP partai terbesar pendukung Presiden. Partai berlambang kepala banteng ini diduga menghadapi situasi berat. Tertekan akibat usulan RUU HIP yang dikaitkan dengan isu Komunisme.
Persoalan isu Orde Lama, Soekarnoisme, serta Komunisme bermula pada Visi Misi dan AD/ART Partai sebagai platform perjuangan Partai. Reaksi yang datang secara masif adalah suatu hal yang wajar, tak ada asap jika tak ada api. Jadi bukan gorengan.
Persimpangan jalan pertama adalah antara melakukan klarifikasi atau mengubah AD/ART Partai? Hal ini agar tidak ditafsirkan bahwa misi Partai tidak lain adalah untuk menggoyang atau bahkan, mengganti Pancasila.
Persimpangan jalan kedua yakni antara “the rulling party” dalam arti riel atau bersifat semu (quasi) ? Jika hanya pro-forma yakni PDIP itu sebenarnya tidak berkuasa maka PDIP dapat mengambil porsi berseberangan dengan Presiden. Artinya Jokowi bisa saja dimakzulkan.
PDIP dapat menyiapkan kadernya untuk Wapres sebagai pasangan Ma’ruf Amin yang naik menjadi Presiden. Keuntungan politisnya PDIP menjadi motor penyalur aspirasi rakyat yang memang dirasakan sudah tidak mempercayai Jokowi lagi.
Keuntungan lain adalah Kyai Ma’ruf yang “uzur” sehingga meskipun berstatus sebagai Wapres akan tetapi nantinya PDIP akan menjadi penentu kebijakan. Menjadikan Wapres dari kader PDIP tentu mudah saja berdasarkan lobi lobi sebagai Partai pemilik suara terbanyak. Memakzulkan Jokowi dapat menjadi bagian dari pemulihan nama baik PDIP setelah diporakporandakan oleh RUU HIP.
Apakah Jokowi akan diam saja menghadapi rencana pemakzulan? Belum tentu. Siapa tahu Pemerintah mengajukan permohonan pembubaran PDIP ke MK atas dasar ideologi atau asas Partai yang bertentangan dengan UUD 1945.
Nah karena politik itu dinamis dan segalanya serba mungkin, maka biarlah apa yang nanti rakyat akan lakukan untuk mewujudkan kekuatan atau kedaulatannya sendiri. Jokowi turun atau PDIP bubar. Atau mungkin terjadi hal yang spektakuler yaitu menimpa kedua-duanya, Jokowi turun dan PDIP bubar.
Kita semua tidak tahu karena panggung politik itu sering membuat kejutan. (*)