DEMOKRASI.CO.ID - Dua puluh empat tahun silam, tepatnya pada hari Sabtu 27 Juli 1996, terjadi sebuah peristiwa berdarah di panggung politik tanah air.
Saat itu terjadi aksi pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri.
Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan ABRI.
Saat itu saya masih bekerja sebagai penyiar dan reporter Radio Ramako Jakarta.
Sekitar jam 6.30 pagi, saya berangkat menuju ke lokasi untuk memantau situasi di Jalan Diponegoro. Tapi hampir semua ruas jalan sudah ditutup oleh aparat keamanan.
Maka saya mendapat akal untuk melompat dari satu tembok ke tembok lain di sejajaran Bioskop Megaria.
Barulah setelah saya berhasil masuk ke dalam areal Bioskop Megaria, saya lompat lagi lewat pagar depan untuk bisa masuk ke arah Jalan Diponegoro.
Suasana saat itu sangat amat mencekam.
Saya yang awalnya hanya bertugas untuk melaporkan arus lalulintas, akhirnya jadi berubah melakukan siaran langsung kerusuhan 27 Juli di Radio Ramako.
Dari pagi sampai sore, saya terus melakukan siaran langsung dari lokasi kerusuhan.
Kalau sedang tidak siaran langsung, saya duduk-duduk di pinggir trotoar bersama rekan wartawan lainnya.
Ada Budayawan sekaligus wartawan senior Mas Noorca Massardi dan istrinya, Rayni Massardi, ikut bergabung, ada Bang James Luhulima wartawan senior dari Harian Kompas, sampai ke artis Jajang C. Noer juga ada di lokasi kerusuhan untuk ikut memantau situasi.
Pada siang harinya, saya ditelepon oleh Mas Sophan Sophiaan yang saat itu bersama Bang Mangara Siahaan, terus setia mendampingi Bu Megawati Soekarnoputri.
"Mega, kamu dimana? Kami semua mendengarkan laporan kamu di Ramako. Coba cari ojek, kamu datang kesini. Mbak Mega mau kenalan sama kamu," kata MS Sophan Sophiaan pada saya.
Saya diminta datang ke sebuah rumah di kawasan Menteng karena Bu Megawati ingin bertemu dengan saya sebagai wartawati yang melaporkan langsung kerusuhan 27 Juli dari lokasi kejadian.
Akhirnya saya datang ke rumah yang disebutkan Mas Sophan Sophiaan. Dan memang benar, di sana ada Bu Megawati.
Saya berjabatan tangan dengan Bu Megawati. Ngobrol sebentar. Lantas beliau mempersilahkan saya kembali bertugas.
Tak cuma Bu Megawati, Mas Taufiq Kiemas dan para petinggi PDI pendukung Megawati juga mendengarkan siaran langsung saya di Radio Ramako sepanjang hari itu.
Puncak dari kerusuhan 27 Juli itu adalah pada jam 15.00 WIB.
Seorang pendukung Bu Megawati menyampaikan orasinya secara berapi-api. Tak lama setelah ia orasi, situasi chaos pun terjadi.
Suara tembakan dimana-mana.
Lemparan batu (ukuran kecil, sedang dan besar) berterbangan di atas kepala.
Gas airmata di mana-mana.
Ribuan massa kocar-kacir.
Wartawan kocar-kacir.
Aparat keamanan (baik polisi atau tentara) makin lama makin ganas.
Saya yang memakai kartu pers pun ikut jadi sasaran, badan saya ditendangi tentara, pantat saya ditendangi berulang kali oleh tentara, bahkan baju saya ditarik sekencang-kencangnya lalu didorong sampai saya terjungkal-jungkal.
Untuk menghindari aksi represif dari aparat keamanan, saya masuk ke sebuah sekolah yang tak jauh dari Kantor PDI.
Saya bersembunyi di sana.
Ternyata seorang polisi pun sedang ngumpet di tempat yang sama.
Wajah polisi itu berdarah-darah sangat parah. Bahkan dari telinganya mengalir darah. Nafasnya tersengal-sengal.
Kami berdua sama sama jongkok dan sembunyi di sekolah itu.
Tapi, tak lama kemudian, saya beranjak pergi agar bisa tetap memantau situasi.
Situasi malah makin kacau.
Suara tembakan tak berhenti di sana sini.
Batu berterbangan di atas kepala. Jika ada 1 saja batu itu mendarat di kepala, pasti kepala saya bocor maka harus pintar-pintar mengelak dari terjangan batu.
Saya berlari ke arah Cikini.
Tapi situasinya malah makin mencekam sebab massa membakar mobil-mobil yang diparkir di pinggir jalan.
Polisi pun agresif mengejar massa yang melakukan aksi anarkis.
Saya berinisiatif masuk ke dalam got di Cikini dan telungkup di dalam got itu untuk sembunyi. Got itu bau sekali aromanya. Tapi karena situasi sangat mencekam, saya akan sangat aman jika tetap sembunyi di dalam got itu.
Setelah saya dengar situasi mulai tenang, saya pun keluar dari dalam got.
Dan jam saat itu sudah hampir menunjukkan jam 6 sore.
Sahabat saya, Mas Nooca Massardi dan istrinya, Mbak Rayni Massardi, mengajak saya pergi meninggalkan lokasi kerusuhan karena sudah hampir malam.
Bersamaan dengan itu, pihak Radio Ramako juga memerintahkan saya untuk pulang demi keselamatan diri saya.
Akhirnya saya bisa berkumpul dengan Mas Noorca dan Mbak Rayni.
Kami naik taksi ke arah Menteng untuk makan di sebuah restoran Perancis dalam kondisi diri kami yang sudah sangat kumel.
Apalagi saya, sempat tiarap dalam got yang bau busuk.
Meliput kerusuhan 27 Juli adalah sebuah pengalaman yang tak terlupakan sepanjang hidup daya.
Ditendang berulang kali sampai tersungkur. Tiarap dalam got yang bau busuk. Berlarian kesana kemari, sementara di atas kepala batu berterbangan di iringi suara tembakan dimana-mana.
Seminggu kemudian, saya diberitahu oleh salah seorang senior saya di Radio Ramako bahwa sebuah lembaga survei membuat polling dan hasilnya adalau siaran langsung saya soal kerusuhan 27 Juli didengar oleh hampir 1 juta orang.
Terutama didengar oleh kalangan etnis China yang berdagang dan bermukim di kawasan Glodok, Mangga Besar dan sekitarnya yang menjadi basis perdagangan kalangan etnis China di Jakarta.
Mereka hafal nama udara saya siaran di Radio Ramako dan banyak yang mengirimkan salam untuk "Mega Asteroid".
Beberapa hari setelah peristiwa 27 Juli itu, Harian Kompas memuat profil diri saya secara khusus sampai setengah halaman karena saya satu-satunya wartawan yang melaporkan kerusuhan 27 Juli secara langsung.
Saat profil saya dimuat di Harian Kompas, saya sedang berada di Yogyakarta.
Banyak yang akhirnya mengenali saya di Jogja setelah melihat foto saya terpampang besar sekali di Harian Kompas.
Kini, tak terasa 24 tahun sudah berlalu.
Menjadi saksi sejarah untuk peristiwa besar sekelas Kudatuli tentu memberikan rasa haru dalam diri saya sebagai seorang jurnalis.
Saya teringat pada sebuah qoute dari Henry Anatole Grunwald yang mengatakan:
"Journalism can never be silent: that is its greatest virtue and its greatest fault. It must speak, and speak immediately, while the echoes of wonder, the claims of triumph and the signs of horror are still in the air".
Dan satu hal yang terpenting, kekerasan dalam berpolitik jangan sampai terulang lagi di negeri tercinta ini.
Apalagi kekerasan yang berdarah-darah dan menimbulkan banyak korban seperti peristiwa Kudatuli 24 tahun silam.
Merdeka!(rmol)