DEMOKRASI.CO.ID - Direktur Eksekutif lembaga advokasi Lokataru Foundation Haris Azhar menyatakan, polisi yang diduga menganiaya kuli bangunan bernama Sarpan di sel tahanan Polsek Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara, seharusnya dipidana.
"Harusnya tindakan itu dikualifikasi sebagai pidana. Tidak bisa hanya tindakan indisipliner, harus diteruskan ke pidana. Itu ada Perkap-nya (Peraturan Kapolri)," ujar Haris saat dihubungi, Jumat (10/7).
Beleid yang mengatur polisi tak boleh menggunakan kekerasan dalam melaksanakan tugas penegakan hukum adalah Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Pasal 10 huruf c dalam Perkap itu dengan tegas menyatakan anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku dalam melaksanakan tugas penegakan hukum yakni tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan.
Haris mengatakan peristiwa semacam ini masih kerap berulang lantaran tak ada hukuman yang memberi efek jera pada pelaku. Kebanyakan kasus penyiksaan oleh polisi, kata dia, terjadi di tingkat polsek dan polres.
Menurutnya, perlu pengawasan ketat tak hanya dari satuan kepolisian itu sendiri. Ia pun meminta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan DPR tegas melakukan pengawasan atas Polri tersebut.
"Praktik ini terus terjadi karena memang enggak ada hukuman yang istilahnya memberi efek jera untuk mencegah praktik ini ke depan. Seharusnya pengawas polisi, Kompolnas, DPR juga kasih perhatian," katanya.
Atas peristiwa penyiksaan tersebut, Kapolsek Percut Sei Tuan Kompol Otniel Siahaan dicopot dari jabatannya. Saat ini jabatan kapolsek dipegang pejabat sementara.
Menanggapi hal tersebut, Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pencopotan kapolsek itu tidak cukup.
Peneliti KontraS Rivanlee menilai meski Kompol Otniel Siahaan bertanggung jawab sebagai pucuk komando polsek itu, namun bukan berarti kasus tersebut tidak dapat dikembangkan ke arah pidana.
"Pencopotan tersebut tidak menutup untuk pelaku diadili secara hukum dan kapolsek dapat dimintai keterangan perihal itu karena praktik penyiksaannya," kata Rivan.
Berdasarkan catatan pihaknya, praktik-praktik kekerasan dalam penyidikan yang dilakukan kepolisian sudah sering terjadi dengan pola serupa. Oleh sebab itu, pengungkapan kasus-kasus itu harus mengedepankan pro justitia atau demi keadilan.
"Dalam beberapa kasus, pencopotan kepala [kantor polisi] tidak cukup menjawab persoalan, karena dianggap 'selesai'. Sementara pelaku tidak dihukum secara pidana," kata dia.
"Harusnya didorong ke proses peradilan umum," tambahnya lagi.
Dengan demikian, sambung Rivan, akan jelas di Indonesia bahwa hukum berlaku bagi semua kalangan, termasuk aparat yang melanggar.
"Pengungkapan kebenaran dari kasus ini menjadi salah satu indikator bagi perbaikan penegakan hukum di Indonesia," katanya.
Sarpan diduga menjadi korban penganiayaan oleh polisi usai menjadi saksi kasus pembunuhan di Deli Serdang, Sumut. Ia menderita luka di sekujur tubuh dan wajahnya.
Sarpan dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan Dodi Sumanto. Padahal tersangka pelaku pembunuhan berinisial A, sudah diamankan.
Terkait kasus penyiksaan di wilayah Deli Serdang, Sumatera Utara ini, Mabes Polri belum buka suara. Saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono enggan berkomentar banyak.
Dia berdalih sedang melakukan kunjungan kerja sehingga belum dapat buka suara.
"Ke karopenmas saya sedang kunker ke Madiun sama Kapolri dan Panglima," kata Argo. []