DEMOKRASI.CO.ID - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara telah memvonis terhadap dua pelaku penyiraman air keras ke Novel Baswedan.
Untuk Rahmat Kadir Mahulette dijatuhi hukuman 2 tahun penjara dan Ronny Bugis dihukum 1,5 tahun penjara.
Direktur Legal Culture Institute (LCI), M. Rizqi Azmi mengatakan, putusan tersebut dinilai hanya basa-basi yang dilakukan hakim yang seakan-akan meredam tuntutan publik dan kebutuhan terpidana.
Karena kata Rizqi, tidak adanya pemaknaan ultra petita dalam putusan hakim lantaran putusan 2 tahun masih jauh di bawah hukuman yang dijatuhkan Pasal 353 Ayat 2, yaitu maksimal 7 tahun.
"Kemudian hakim juga tidak berani memutuskan dengan dakwaan primer yaitu Pasal 355 ayat 1 yaitu penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun," ucap M. Rizqi Azmi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (17/7).
"Inilah kelemahan dan basa basi seakan-akan meredam tuntutan publik dan kebutuhan terpidana," imbuhnya.
Seharusnya kata Rizqi, hakim berfikir progresif dan tidak pasif. Sehingga, apapun adanya permainan yang dimainkan oknum Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan terdakwa dapat dipatahkan dengan mengejar peristiwa hukum dengan interpretasi sosiologi dan viktimologi.
"Karena banyak hal yang dikembangkan misalkan bukti yang dibantah Novel tidak sesuai kenyataan dan rekaman CCTV yang seharusnya di kejar. Selanjutnya saksi ahli yang banyak dihadirkan untuk mengelaborasi kejadian," jelasnya.
Sehingga sambung Rizqi, dalam perkara ini terlihat hakim mempunyai beban dalam memutuskan hukuman kepada kedua anggota Polri aktif tersebut.
"Dalam kasus ini terlihat beban hakim untuk memutuskan secara adil dan menggunakan ultra petita. Ada banyak tekanan di luar meja hijau yang menjadi pertimbangan para hakim. Namun selayaknya sebagai pemutus keadilan dan pemberi kepastian hukum, hakim harus kebal dari segala intimidasi dan kukuh mempertahankan naluri dan nuraninya," kata Rizqi.
"Fiat justitia ruat caelum (tegakan keadilan meski langit akan runtuh) seharusnya adagium inilah yang harus di pertahankan hakim sehingga kemandirian hakim bisa teruji lepas dari segala campur tangan dan kepentingan kekuasaan," sambungnya.
Tak hanya itu, Rizqi menyebut bahwa vonis tersebut menguatkan hasil riset LCI bahwa kewibawaan dan kepercayaan publik terhadap penegak hukum telah mati sering dengan putusan hakim dan keengganan JPU untuk langsung menentukan sikap banding.
"Benteng keadilan telah roboh dan legitimasi hukum di cerabut dari akarnya dan menyisakan monumen pencitraan di konstitusi. Panglima itu telah dibunuh dengan sandiwara di ruang hampa pengadilan," pungkasnya. (Rmol)