DEMOKRASI.CO.ID - Jika sudah duduk lupa berdiri, sebuah jargon yang digunakan sebuah perusahaan furniture puluhan tahun silam, sepertinya cocok dengan kondisi saat ini. Ketika seorang penguasa terlena dengan jabatannya, hingga lupa 'berdiri'.
Pemberian rekomendasi dari PDI Perjuangan kepada Gibran Rakabuming Raka untuk maju dalam Pilkada Solo 2020 saja sudah menunjukkan sinyal kuat ada upaya politik dinasti.
Dugaan ini makin kuat ketika Presiden Joko Widodo yang adalah ayah dari Gibran diketahui menawarkan jabatan kepada Achmad Purnomo, yang menjadi pesaing kuat anaknya di Pilkada Solo, untuk mundur dari kontestasi.
"Kekuasaan memang mudah melenakan orang. Dulu bangga menyatakan anak dan keluarganya tidak tertarik dengan kekuasaan. Namun, setelah angin berganti dan ambisi mencuat, justru kekuasaan negara yang ada di tangan berusaha dimanfaatkan untuk menyukseskan ambisi keluarga sendiri," kritik pengamat politik, Ahmad Khoirul Umam kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (18/7).
“Hal ini berpotensi kontraproduktif terhadap persepsi publik pada Presiden Jokowi. Baik anak dan menantunya menang atau kalah pada Pilkada 9 Desember mendatang, tetap ini menjadi preseden yang tidak sehat bagi demokrasi,” imbuhnya.
Seharusnya, lanjut Umam, presiden paham dan memberikan pemahaman kepada keluarganya untuk menahan diri. Lebih patut mereka berkompetisi setelah Jokowi purnatugas dari kekuasaan tertinggi sebagai presiden negeri ini.
“Jadi, watak Jokowi yang dilihat masyarakat selama ini, sepertinya berubah drastis. Masyarakat harus mengingatkan. Sebab, jika masyarakat tidak atau bahkan 'tidak bisa' memberikan koreksi terhadap perilaku presiden tersebut, itu pertanda tegas kemunduran demokrasi negeri ini," sambung dosen Universitas Paramadina ini.
Jika cara-cara yang melanggar etika ini dianggap biasa dilakukan oleh seorang presiden, maka siapa yang bisa menjamin bahwa lembaga dan institusi negara yang punya kekuatan solid dan masif di bawah kendali presiden mampu bersikap netral dan independen pada kompetisi Pilkada mendatang?
Melihat tren perilaku tersebut, masih kata Umam, maka potensi pembajakan dan penyalahgunaan kewenangan lembaga negara untuk kepentingan politik praktis keluarga penguasa berpeluang besar terjadi di masa depan.
Atau sebaliknya, jika penyalahgunaan kewenangan lembaga negara tidak terjadi, akumulasi kekuatan modal dari elemen oligarki tetap berpotensi besar berkumpul ke titik yang sama. Yakni mereka yang didukung oleh pengendali kekuasaan negeri ini. Hal ini jelas tidak etis dan tidak sehat bagi konsolidasi demokrasi.
Umam pun berharap Presiden bisa membedakan antara hak dan etika politik. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden haruslah menjadi teladan bagi stakeholders politik dan demokrasi bangsa ini. Karena, kepada presiden, masyarakat menitipkan harapan dan mimpi.
Jika harapan rakyat itu dikhianati, jawaban selanjutnya tentu sangat miris sekali,” demikian Umam. (Rmol)