DEMOKRASI.CO.ID - Kemarahan Presiden Joko Widodo di hadapan menterinya seharusnya tidak diumbar ke publik. Sebabnya, kejengkelan yang sudah dilakukan Jokowi hingga dua kali itu justru dapat menimbulkan tafsir bebas di masyarakat.
Analis politik yang juga Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia, Ali Rif'an menilai, kemarahan Kepala Pemerintahan menjadi relevan kalau hal itu adalah bagian dari pra kondisi menuju perombakan kabinet.
Ali Rif'an melihat, jika kemarahan Jokowi bertujuan agar menjadi cambuk bagi para pembantunya, maka sebaiknya dilakukan secara internal.
"Kalau sudah disampaikan ke publik tafsirnya bebas, dan ini hanya menimbulkan kegaduhan. Berarti Jokowi mempertontonkan kebrobrokan pemerintah, kalau ini sebagai pra kondisi reshuffle it's okay," demikian kata Ali Rif'an kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (12/7).
Ali Rif'an justru menilai, apabila ternyata kemarahan Presiden tidak berujung reshuffle, mengindikasikan bahwa Jokowi tersandera oleh kepentingan politik tertentu.
"Kita khawatir, bagian dari spekulasi yang muncul, memarahi menteri, setelah 10 hari marah baru diunggah, beberapa saat kemudian Istana klarifikasi tidak ada reshuffle, jangan-jangan ada tekanan. Dalam situasi pandemi butuh pola-pola baru kalau nggak bisa ikuti pola baru tangani pandemi ganti aja. Keselamatan rakyat harus diutamakan," demikian pandangan Ali Rif'an.
Meski demikian, Ali memberikan penjelasan tentang tiga faktor yang harus menjadi dasar Kepala Negara dalam melakukan perombakan kabinet. Diantaranya faktor kompetensi, politik dan opini publik.
Eks Manajer Riset Poltracking Indonesia ini mengaku khawatir jika yang dominan dalam memutuskan perombakan kabinet hanyalah politik semata. Kata Ali, seharusnya faktor kompetisi dan opini publik juga menjadi dasar apakah diperlukan perombakan atau tidak.
"Kalau kompetensi kan sederhana, gak mampu copot saja, kalau faktor publik kehendak masyarakat ingin pergantian ya diganti. Kita mencermati ada faktor politik. Harusnya kemarahan itu harus berujung pada reshuffle. Bahkan ahli gesture menilai marahnya serius, dalam waktu 1 tahun ini harusnya ada evaluasi. Pertanyaannya sederhana, kenapa Presiden bisa semarah itu? berarti ada situasi melakukan kesalahan berulang," pungkas pria yang juga Magister Politik Universitas Indonesia ini. [rmol]