DEMOKRASI.CO.ID - Pengamat Politik, Rocky Gerung akhirnya buka suara soal majunya putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka yang diusung oleh PDI Perjuangan (PDIP) dalam Pilkada Solo 2020.
Dalam tayangan Youtube Rocky Gerung Official, Selasa (21/7/2020), dia menggambarkan kondisi tersebut bagaikan anak dan busur panah.
Jokowi disebutnya sebagai busur panah, sedangkan Gibran sendiri sebagai anak panahnya.
Anak panah yang dimaksudkan kata dia, bisa menjadi anak panah kehidupan, tetapi juga bisa menjadi anak panah kekuasaan.
Dikatakannya hal itu tergantung bagaimana busur panah memfungsikannya.
"Saya enggak tahu Gibran yang hari ini dipercakapkan orang, apakah ayahnya juga memaksudkan dia sebagai anak panah kehidupan atau anak panah kekuasaan," ujar Rocky Gerung.
Jika melihat kondisi yang terjadi dengan merujuk majunya Gibran di Pilkada Solo 2020, maka Rocky Gerung menilai Jokowi menggunakan anak panahnya untuk itu menjadi anak panah kekuasaan.
Dengan begitu tidak lain adalah sebagai bentuk nepotisme.
"Kalau dia anak panah kehidupan, maka ada wisdom, yaitu sang ayah pasti mengarahkan anak panahnya kedati bukan berasal, bukan keinginan dia tapi dia menjadi busur supaya anak panahnya menjadi contoh di masa depan, menjadi contoh dari berhentinya nepotisme," jelas Rocky Gerung.
"Tetapi justru sang ayah menjadikan anak panahnya itu contoh buruk dari nepotisme," sambungnya.
Rocky Gerung menyebutnya sebagai contoh nepotisme yang paling buruk atau bisa dikatakan lebih dari sekadar nepotisme.
Karena seperti yang diketahui, nepotisme adalah masih dalam batas keponakan.
Sedangkan Gibran sendiri sudah merupakan anak kandung dari Jokowi.
"Karena kalau kita sebut nepotisme itu dari kata nepos artinya ponakan, ini bukan lagi ponakannya, ini anaknya," terangnya.
"Jadi bukan nepos lagi, ini sudah sonsisme, putraisme, dan itu bagian paling buruk dari demokrasi." tambahnya.
Bahkan Rocky Gerung menyebut Jokowi lebih buruk dari rezim Soeharto.
“Dulu Pak Harto angkat Mbak Tutut, kita semua protes waktu itu. Tapi akhirnya kita mengerti karena saat itu sistemnya otoriter. Pak harto kita nilai lebih fair untuk kuasai infrastruktur politik tak ada oposisi, maka Mbak Tutut. ,Kalau dibandingkan, ya lebih otoriter Jokowi sebenarnya. Dalam sistem demokrasi terang benderang, Jokowi bermain di air keruh, mencari keuntungan dari jabatan politik. Sebut saja lebih totaliter dari sistem Orde Baru,” ungkap Rocky.
Lebih lanjut, Rocky Gerung membenarkan bahwa majunya Gibran ke Pilkada Solo 2020 merupakan hak otonom setiap individu.
Namun menurutnya, hak tersebut berlaku jika seseorang benar-benar tidak memiliki hubungan atau pengaruh dengan pihak lain di perpolitikan, terlebih orang nomor satu di Indonesia.
"Tentu orang bisa bilang ya itu otonom untuk mencalonkan atau tidak mencalonkan," kata Rocky Gerung.
"Dia menjadi otonom kalau tidak di dalam spire of influence dari ayahnya yang adalah presiden," jelasnya.
"Kan problem kita spire of influence presiden akan bekerja mendahului netralitas Pilkada," tutupnya.
Ia bahkan menyarankan Jokowi langsung saja melantik Gibran lewat Peppres ketimbang bertarung lewat Pilkada.
Rocky gerung menyebut kini beredar nyinyiran yang menyebut terkait Gibran yang melawan kotak kosong.
"Jadi meme sekarang kalau kotak kosong yang kalah di solo yang menang siapa? Jadi kotak kosong versus otak kosong," katanya.[ljs]
Simak pernyataan lengkapnya mulai menit ke: 12.05