logo
×

Sabtu, 04 Juli 2020

Enam Point Pernyataan Sikap Komunitas Masyarakat Tionghoa Tolak RUU HIP

Enam Point Pernyataan Sikap Komunitas Masyarakat Tionghoa Tolak RUU HIP

DEMOKRASI.CO.ID - Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) terus menjadi perdebatan publik. Anggota Komunitas Masyarakat Tionghoa, Lieus Sungkharisma menyebutkan, perdebatan RUU HIP juga berdampak gejolak sosial di masyarakata.

“Amat disayangkan, sejumlah klausul yang tercantum dalam pasal-pasal di dalam RUU HIP itu telah mengundang kontroversi hingga menimbulkan gejolak di masyarakat,” ujar Lieus dalam keterangannya, Jumat (3/7). Seperti dikutip dari RMOL.id (04/07/2020).

Lieus mengatakan, setidaknya ada tiga hal krusial yang berpotensi mendegradasi Pancasila sebagai ideologi bangsa dalam RUU HIP itu yang banyak diperdebatkan publik.

Pertama, tentang adanya klausul Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan akhirnya Ekasila (Gotong Royong).

Kedua, kalimat dalam Pasal 7 ayat (2) yang menyebut “Ketuhanan yang Berkebudayaan” yang ditengarai akan menggantikan sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ketiga, tidak dicantumkannya TAP MPRS XXV/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, serta larangan terhadap setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Oleh karena adanya pasal-pasal yang kontoversial dan untuk menekan membesarnya gejolak yang timbul di masyarakat, dikatakan Lieus, Komunitas Masyarakat Tionghoa di Jakarta menyatakan enam sikap:

1. Berdasarkan pendapat para ahli hukum tata negara bahwa materi RUU HIP banyak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah Undang-Undang lainnya, terutama UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta berpotensi pula menimbulkan gejolak di masyarakat hingga dapat memecahbelah persatuan bangsa, maka kami Komunitas Masyarakat Tionghoa di Jakarta meminta agar RUU HIP dicabut dari Prolegnas 2020 dan tidak dilanjutkan pembahasannya.

2. Kami meyakini bahwa secara hukum kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara sudah sangat kuat dan sudah final. Landasan Perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur di dalam TAP MPRS nomor XX/1966 juncto TAP MPR nomor V/1973, TAP MPR nomor LX/1978, dan TAP MPR III/2000 beserta beberapa undang-undang turunannya. Oleh karena itu tidak perlu lagi dibuat Undang-Undang Baru untuk menegaskan kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.

Rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara telah disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan tercantum dalam Pasal 2 UU 12/2011; bahwa Pancasila adalah sumber segala sumber hukum. Sedangkan UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 3 ayat 1 UU 12/2011).

3. Memasukkan Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang Berkebudayaan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis bahwa itu merupakan pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, tidak hanya mereduksi rumusan final Pancasila pada 18 Agustus 1945, tapi juga mengingkari perjuangan, usaha keras, jerih payah dan kesepakatan para founding fathers and mothers Republik Indonesia sebagai peserta sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Hendaklah dipahami bahwa, selama berlangsungnya sidang-sidang BPUPKI, para tokoh bangsa, di antaranya adalah lima tokoh dari Tionghoa yakni Yap Tjwan Bing, Mr. Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Hauw dan Liem Koen Hian, telah bersepakat untuk mendirikan negara Indonesia berdasarkan lima prinsip yang diusulkan Bung Karno dengan menyingkirkan berbagai sekat perbedaan yang ada. Lima prinsip inilah yang kemudian dirumuskan menjadi Pancasila pada Sidang BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan kemudian ditetapkan sebagai dasar negara.

4. Kami sependapat dengan pernyataan Yap Tjwan Bing dan Oei Tjong Hauw dalam pidatonya pada sidang kedua BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 yang menyatakan bahwa; jikalau ada seseorang yang berbuat salah, jangan bangsanya yang dipersalahkan. Kerakyatan daripada negara merdeka bukan satu barang yang ditawarkan pada orang apakah dia mau atau tidak. Satu negara merdeka harus menetapkan rakyatnya dalam undang-undang.

Maka, jika ada yang tidak baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seharusnya bukan Pancasilanya yang diotak-atik. Diubah-ubah. Diperas-peras. Tapi prilaku dan sikap para pemimpin dan warga bangsalah yang mestinya diintrospeksi. Terutama karena Pancasila adalah buah olah pikir, perjuangan, urun rembug dan kesepakatan para pendiri bangsa yang tidak lahir dari sekedipan mata.

5. Kami meyakini, dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralis, sila-sila dalam Pancasila adalah sudah final dan mengikat. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan Perwakilan serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah keniscayaan yang seharusnya menjadi dasar negara dan tujuan bersama.

Di dalam masyarakat yang ber-Pancasila itulah para elit bangsa seperti tokoh agama, politisi, pejabat pemerintahan, akademisi, seniman, budayawan, wartawan, hakim, jaksa, polisi, tentara, pengusaha dan lain-lain, seharusnya mengambil peran pentingnya masing-masing sebagai wujud pengabdian kepada bangsa dan negaranya.

6. Kami mendesak agar pemerintah dan DPR lebih sensitif dan bijaksana dalam menyikapi aspirasi rakyat atas munculnya berbagai penolakan terhadap RUU HIP ini. Tentunya dengan lebih mengedepankan kepentingan seluruh rakyat serta mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Itu artinya, pembahasan RUU HIP harus dihentikan dan dicabut dari agenda prolegnas. Dengan demikian kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang berjuang menghadapi pandemic Covid-19, bisa kembali kondusif, tenang, tentram dan damai.[rmol/aks/nu]
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: